“Jiyeon, ayo makan sedikit saja nak..”
Tuan Park terkejut saat mendapati suasana rumah yang sedikit berbeda sore itu. Sang istri tampak tengah berdiri di depan pintu kamar putri bungsu mereka. Sesekali memanggil, namun selalu tidak ada jawaban dari dalam.
“Apa yang terjadi?”
Tuan Park mendekat, menyentuh lengan istrinya.
“Dia pulang dalam keadaan menangis dan mengurung diri seharian. Aku belum mengerti apa yang terjadi.”
Tuan Park mengusap lengan istrinya lembut. “Biar aku yang bicara padanya. Kau bisa lanjutkan menyiapkan makan malam.”
Tuan Park mendekat, menggeser pintu kamar Jiyeon yang gelap gulita. Hanya cahaya dari ruang keluarga yang menjadi satu satunya sumber penyinaran disana.
“AKU BILANG AKU TIDAK INGIN MAKAN!”
Jiyeon melemparkan bantal kecil, namun tidak mendengar suara benda bertubrukan setelahnya. Lalu menyadari sesuatu.
“..Aboji?”
Lelaki paruh baya itu dapat mengenali suara parau putri bungsunya dengan cepat. Ia melangkah maju dan berdiri di tepian tempat tidur. Tubuhnya bergerak untuk duduk bersila meski ia tak dapat melihat wajah sang putri. Meletakkan bantal yang semula ia tangkap dengan mudah.
“Apa aku mengajarkanmu untuk merepotkan orang lain, Park Jiyeon-Agasshi?”
Tuan Park dapat merasakan gerakan pelan dari kasur. Lalu bersitan ingus yang terdengar menggelikan namun lucu.
“Animida, Aboji.”
“Kau ada masalah?”
Jiyeon menarik ingusnya, memberi jawaban.
“Sudah menyelesaikannya dengan baik?”
Lagi-lagi Jiyeon menarik ingusnya kencang.
“Kenapa tidak? Masih ingat pelajaran nomor sembilan?”
“Selesaikan segala urusan dari luar sebelum menginjakkan kaki di rumah.”
“Hmm.”
“Apapun yang terjadi di luar, tidak boleh mempengaruhi suasana rumah.”
“Lalu?”
“Apa aku harus keluar dan menyelesaikannya sekarang?”
Tuan park menghela nafasnya pelan.
“Tidak. Ini sudah hampir larut.”
Jiyeon beringsut maju. Mencari keberadaan sang ayah.
Sejak ia kecil Jiyeon sudah mengenal banyak peraturan di rumah. Untuk keperluan bersama. Untuk keperluan pribadi masing-masing. Sang ayah sudah menyiapkan segalanya dengan jelas.
Sikap tegas ayahnya membuat Jiyeon paham bahwa apa yang selalu lelaki paruh baya itu paksakan padanya adalah demi kebaikannya sendiri.
Jiyeon begitu mencintai ayahnya. Menurutnya, sang ayah adalah pahlawan dan obat penenang sepanjang masa.
“Aboji..”
Rengek Jiyeon saat ia menemukan tubuh sang ayah. Lelaki itu segera memeluknya hangat. Itu untuk pertama kalinya Jiyeon membawa air matanya pulang. Biasanya, Tuan Park hanya akan melihat jejak-jejak air mata yang tersisa. Dan itu pertanda bahwa masalah putrinya sudah selesai.
“Jadi, siapa lelaki yang sudah membuat putriku patah hati?”
Jiyeon tidak menjawab. Hanya mengencangkan pelukan karena ia tau bahwa ia tidak akan pernah mampu berbohong pada sang ayah. Tapi biarlah nama itu ia simpan sendiri. Karena pun jika ayahnya tau, mereka tidak dapat melakukan apa-apa.
Jiyeon paham, ini sepenuhnya kesalahannya.
●●●●
“Park Jiyeon?”
“Oh, Oraboni?”
Jiyeon menunduk memberi hormat.
“Tidak perlu seformal itu padaku.”
Jiyeon mendengar tawa hangat Doyoung yang berdiri di depannya.
“Kau kemana saja? Aku tidak melihatmu beberapa hari belakangan.”
“Ah. aku sedikit tidak enak badan, Oraboni.”
“Oh ya? Sekarang sudah lebih baik?”
“Ne, Oraboni.”
“Mau kemana?”
Doyoung berjalan di samping Jiyeon, melirik banyak buku yang menumpuk dalam pelukan gadis remaja itu.
“Aku ingin berhenti mengikuti pelajaran tata krama juga sejarah negeri.”
“Kenapa?”
“Aku mengikuti kelas yang sama selama bertahun-tahun dan merasa sudah cukup.”
“Maksudmu, cukup membosankan?”
Jiyeon tertawa ringan. “Kurang lebih seperti itu, Oraboni.” Jawabnya bergurau.
Mereka masih berjalan bersisian. Doyoung melemparkan beberapa pertanyaan dan itu membuat perasaan Jiyeon terasa lebih baik.
“Sini, aku bantu. Pasti berat.”
“Gwenchanseumnida Oraboni. Aku—“
“Dwesseo.”
Dua per tiga buku beralih ke dalam pelukan Doyoung. Membuat Jiyeon menjadi tidak enak hati karena lagi-lagi harus merepotkan orang lain.
“Omong-omong, kau ternyata sangat pintar memasak, ya?”
“Ne?”
“Bingkisan buatanmu. Aku selalu memakannya.”
Jiyeon tidak mengerti entah ia harus merasa senang atau bersedih. Perihal bingkisan yang selalu Jaehyun berikan pada Doyoung, perasaan Jiyeon begitu nyeri jika membayangkan betapa tidak inginnya Jaehyun menerima pemberiannya.
Jiyeon pikir bertahun-tahun memberi bingkisan padanya, sang Putra Mahkota merasa senang. Ternyata hipotesa Jiyeon salah. Jaehyun hanya tidak ingin repot-repot menolak karena yakin bahwa Jiyeon akan tetap memaksa.
Jiyeon tersenyum getir.
“Oraboni ingin aku berikan bingkisan lagi?”
Doyoung menatap Jiyeon dengan mata bulatnya. “Boleh?”
“Tentu boleh. Aku bisa membuatkannya lagi kapan-kapan. Katakan padaku saat Oraboni memiliki waktu luang.”
Mencintai Jaehyun, ternyata begitu melelahkan. Jadi mulai saat itu Jiyeon memutuskan untuk menyerah. Dan menjaga agar dirinya tetap bersama orang-orang yang menginginkan kehadirannya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Selenophile | Jung Jaehyun
RomanceKau tidak cantik, tidak anggun, tidak terlihat seperti gadis kerajaan, kau tau itu?