Sekarang gue mau cerita lagi soal belajar...
Kok temanya belajar mulu sih Nin??? Maafkan gue, sodara-sodara! Gue pelajar dan ya pasti sementara ini tugasnya hanya belajar dan belajar, dengan tambahan tugas jaga adek, cuci piring, godain kucing, ngingetin Mami lanjutan dramanya, main games, ngebully dan dibully teman dan lain sebagainya.
Jadi begini... ini ceritanya pas Dedek masih kelas 1 SD. Anak piyik yang saat itu masih 3P - Polos, Penurut dan Penakut. Gue masih SMP.
Setiap sore, Mami selalu menemani adik bontot gue itu belajar. Adik gue ini gue sebut 3P, karena dia begitu penurut sama Mami. Takut dimarahi katanya. Padahal sepanjang yang gue tahu, Mami hampir gak pernah marah sama Dedek. Dedek ini kesayangan kami sekeluarga, tapi yang paling melindungi itu si Papi. Mami yang deket sama gue itu segannya sama Papi, otomatis sama Dedek juga jarang dan hampir gak pernah marah. Apalagi Dedek ini kan takut banget dimarahi Mami, jadi dia jarang bikin kesalahan.
Mungkin karena Dedek serem melihat Mami kalau lagi memarahi dan mengomeli gue dan Babang, yang justru tenang-tenang aja. Benar deh kata Mami, orang yang tak pernah dimarahi biasanya malah paling takut dimarahi dan tidak terlatih menghadapi kemarahan.
Sore itu, sebelum magrib, kami ngeriung di kamar Mami buat belajar masing-masing. Enak belajar di kamar Mami, banyak snack, ada tivi dan AC yang adem. Belum lagi kebiasaan Mami yang suka memijat-mijat punggung atau kaki anaknya bergantian. Entahlah... itu teori siapa. Mungkin alasan Mami saja agar kami berdua tak jadi mengajukan petisi 'dilarang mengomel dan memarahi anak' di change.org.
Gue lagi membaca buku buat persiapan ulangan harian, Babang mengerjakan latihan Matematika dan saat itu Mami lagi membantu Dedek mengerjakan PR yang lumayan banyak.
"Sekarang Dedek kerjain dulu soal-soalnya ya, Mami mau ke BuIndo dulu beli roti dan susu buat sarapan besok."
"Entar kalo ada yang susah gimana, Mam?"
"Kan ada kakak! Ada babang!"
Babang mengangkat tangan, "No, Mom! Her Math is so difficult. I don't really know." Note aja, Babang menggunakan bahasa Inggris 40-50% untuk bercakap-cakap di rumah. Next, gue ceritain! Terutama dengan Mami.
Gw juga langsung menggeleng, "Enggak ah, Mi! Kakak besok ulhar. Dilangkahin aja nunggu Mami datang baru dikerjain."
Mami melunak, "Iya, gitu aja deh. Dilangkahin aja soal-soal yang susah ya Dek,"
"Dilangkahin?" ulang Dedek gue dengan bingung.
Gue dan Mami mengangguk bersamaan, meyakinkan Dedek yang masih keliatan ragu. Tapi entah mengapa gue merasa ada yang gak beres diterima di otaknya itu. Tapi sudahlah... ulangan harian gue juga lebih penting untuk dipikirkan.
Beberapa menit setelah Mami pergi, Dedek gue sudah terlihat bingung. Walaupun tadinya gue tidak berniat untuk membantunya, tapi melihat Dedek gue bingung begitu jadi kasihan. Jadi gue tendang kakinya si Babang, memberi kode untuknya membantu Dedek kami. Tapi Babang mengelak. Dia malah balas menendang. Sama juga tak tega, tapi males.
Saat kami lagi sibuk bertendang-tendangan dalam keheningan, Dedek malah melakukan sesuatu yang membuat kami berdua sama-sama bengong dengan tampang paling bodoh yang bisa gue bayangin.
Tanpa peduli dua kakaknya lagi 'adu tendangan' pinalti, ia berdiri, meletakkan buku LKS yang tadi dikerjakannya di lantai dan... Dedek melangkahi buku LKSnya itu berkali-kali.
"Dek, what are you doing?" kata Babang sambil mendekat ke Dedek. Gue juga ikut melihat dari dekat.
Dedek memandangi kami berdua bergantian dengan bingung.
"Adek ngapain itu? Kok bukunya digituin?" tanya gue mengulang pertanyaan Babang.
Mata Dedek mulai meredup dan bibirnya mencebik. Takut salah. Mulai merasa ada yang salah.
"Tadi katanya Mami sama Kakak kalo Dedek gak bisa ngerjain, soalnya dilangkahi aja. Itu tadi soalnya susah, jadi Dedek langkahi deh," jawab Dedek dengan wajah polos.
Dalam tiga detik, tawa gue dan Babang pun meledak berbarengan.
Hahahahaha.... Astaga Dedek! Dedek!
"Maksudnya Mami sama Kakak itu bukan bukunya yang dilangkahi, Dedek! Maksudnya, soal yang sulit tidak perlu dikerjakan dulu, tapi pindah ke soal berikutnya," kata gue menjelaskan sebelum kembali tertawa.
Gue dan Babang tertawa tak berhenti sampai Mami datang. Saat Mami datang, Babang pun cerita meski susah payah menahan tawanya. Ternyata Mami juga sama, tertawa. Untungnya, tawa kami berhenti begitu melihat mata Dedek mulai memerah menahan tangis. Malu bercampur kesal.
Aduh, Dedek! Adik gue benar-benar pembawa perdamaian. Babang dan gue yang lagi berantempun kompak menertawakan dia karena itu.
Dear Diary! Besok kalo nemu soal yang sulit, bukunya dilangkahi aja ya! Hahahahaha....
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
A Sloppy Girl's Diary
Teen FictionHai, nama gue Nina. Siswa SMA di Jakarta. Namanya remaja, gue menghadapi aneka situasi yang penuh gejolak. Seperti roller coaster. Kadang di atas, kadang di bawah. Dehay, gue udah keliatan bijak belom? Gue mulai suka menulis sejak SMP. Bagian dari...