Thirty Eight

3.5K 186 14
                                    

Rindu memang terlalu kurang ajar. Ia datang diseluruh waktu yang kupunya.

Happy reading!

Sudah entah yang keberapa kali Shasa menghidupkan lalu mematikan kembali ponselnya. Notifikasi yang ia tunggu sejak kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi tidak kunjung muncul. Mengapa rasanya berbeda. Mengapa rasanya tak biasa. Ada rasa takut menyelinap di ruang hatinya. Apakah mungkin Langit menyadari sesuatu dan memilih untuk melupakannya, melupakan Shasa Velma yang sebenarnya. Semuanya terbukti pada malam ini, entah salah atau benar yang jelas Shasa melihatnya.

Pada jam dua pagi, Shasa melihat Raisa yang baru pulang, ditambah Langit yang mengantarnya. Bahkan Shasa sudah pulang dari club setengah jam sebelumnya. Ingin sekali Shasa muncul dihadapan mereka berdua dan menarik tangan Raisa kencang-kencang. Namun ia terlalu takut, takut jika mungkin Langit memang telah mengetahuinya dan lebih memilih Shasa dalam versi berbeda. Dan yang hanya bisa Shasa lakukan adalah melihat mereka berdua saling tertawa dari balkon kamarnya.

Rasanya ada yang menusuk hatinya ketika ia tau Langit tertawa bukan karenanya. Langit tertawa karena orang lain. Sensasi menikam itu semakin meremas perasaannya tatkala Langit menarik Raisa ke dalam pelukan pria itu. Hangat. Shasa juga ikut merasakannya, walau tidak secara langsung namun dulu ia pernah ada di sana, di dalam rengkuhan tangan lebar milik seorang Langit.

Sebulir air bening meluncur begitu saja di pipi Shasa tanpa gadis itu sadari. Matanya sudah panas sejak awal namun ia mencoba menahannya. Gadis itu sampai menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris berdarah hanya untuk meredakan rasa nyeri yang terasa begitu sakit di dalam dadanya. Ia kembali mencoba bertahan. Kembali mencoba sok kuat walau pada akhirnya segalanya runtuh begitu saja. Shasa adalah gadis paling rapuh. Lebih rapuh dari Tita yang menangis semalaman hanya karena Bian lupa menghubunginya dengan alasan main game bersama Langit dan Patrick.

Shasa ingin munafik, namun ia tidak bisa. Ia merindukan pria itu. Ia ingin memeluk pria itu lagi setelah lama tidak pernah bertemu. Shasa harus menebalkan muka agar tidak marah pada siapapun, pada Raisa atau Langit? Langit tentu saja tidak salah menurutnya. Namun Raisa, entahlah. Ia tidak pernah bisa benar-benar marah pada gadis itu. Yang harus Shasa lakukan sekarang adalah pura-pura tidak pernah melihat apapun yang terjadi pada saudari kembar dan orang yang ia suka.

Shasa terlonjak saat tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia menoleh ke arah tempat dimana Langit dan Raisa berdiri tadi. Ternyata keduanya sudah tidak ada. Oh god, apa mungkin ia melamun terlalu lama hingga tidak menyadari keduanya telah pergi.

"Sa... lo udah tidur ya" itu suara Raisa. Shasa segera berjalan dengan cepat menuju tempat tidurnya. Ia berbaring dan menyelimuti tubuhnya sampai ke leher. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka dan munculah Raisa.

Raisa mendekat ke arah Shasa yang tidur membelakanginya. Gadis itu duduk ditepi ranjang sambil memperhatikan lampu tidur di atas nakas. Temaram namun menenangkan.

"Mungkin hari bahagia selain melihat papa yang bangga karena prestasi gue adalah ketika..." Raisa menjeda sejenak. Berpikir dua kali untuk meloloskan kata demi kata dari mulutnya. Namun ia tetap mengatakannya. "Ketika dia meluk gue. Dua kali. Gue ngerasa aman dan dilindungi"

What the fuck!! Dua kali!! Gue nggak tau apa-apa tentang ini!!

Shasa merapatkan bibirnya agar tidak mengumpat keras-keras di tengah tidurnya yang pura-pura. Shasa tidak perlu berpikir siapa 'dia' yang Raisa maksud. Sudah jelas pria itu adalah Langit. Bahagia katanya!! Mengapa semua yang Raisa rasakan penuh kebahagiaan. Sedangkan dirinya? Satu-satunya sumber yang mampu membuat dirinya bahagia malah direbut juga oleh Raisa. Tuhan apa ini yang namanya hidup dengan adil?

Troublemaker Couple (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang