Kamar berukuran empat kali lima meter persegi ini semakin mencekam, terlebih dengan sorotan tajam Mas Adam yang bagaikan petir.
Sementara Dewi tetap memunggungi Mas Adam.
Situasi ini berlangsung selama hampir 15 menit tanpa ada satu pihak pun yang mengalah atau mencairkan suasana.
Dewi tentu saja tidak semudah itu menerima segala hardikan sang atasan. Semua cacian Mas Adam terlalu menyinggung harga dirinya sebagai perempuan.
Namun samar-samar Dewi mendengar gumaman sang atasan.
"Kalau kau tidak terluka seperti ini, aku tidak perlu marah-marah seperti tadi, bodoh. Kau tidak tahu setan apa yang merasukiku seharian ini karena tingkah konyolmu."
Dewi langsung luluh. Demi apapun, itu terdengar sangat manis di telinga Dewi.
Mas Adam kemungkinan besar adalah orang yang menyelamatkannya dari TKP tadi malam. Perempuan itu pun menyadari kalau dirinya bahkan belum berterima kasih dan sudah marah-marah sendiri.
"Suwun," ujar Dewi dengan suara pelan.
Ternyata, satu kata dan itu cukup untuk membuat segala amarah Adam menguap tak bersisa. Pria tampan itu akhirnya memejamkan matanya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tanpa sadar pria itu menghela nafas lega.
"Aku hanya terlalu emosi karena mengkhawatirkanmu. Jangan sampai ini terulang lagi, kau harus janjikan itu."
Dewi terdiam lalu membalikan badannya ke arah Adam, menatap atasannya itu dan berkata, "Ndak isa, Mas. Iki jeneng e nasib, aku ra isa jamin nasibku baik terus."
"Yah, kau benar," Adam memutar bola matanya, menyesal telah mengeluarkan perintah yang begitu konyol, "Kalau begitu berjanjilah kau tidak menggunakan bahasa Jawa lagi denganku."
Dewi mengerutkan alisnya.
Adam tahu maksud Dewi dan melanjutkan, sambil memposisikan dirinya untuk duduk kembali di kursi bacanya, "Kebetulan lidahku diciptakan untuk bahasa Indonesia dan beberapa bahasa asing, tapi bahasa jawa bukan salah satu di antaranya. Jika kau berbicara dengan bahasa jawa dan aku menjawab dengan bahasa Indonesia itu terdengar aneh. Dan memang aneh."
Dewi terdiam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Benar juga, aku setuju kali ini, Mas Adam..."
Adam berusaha menyembunyikan senyum kecilnya dan berhasil, namun tetap mendengus.
Rasanya lucu sekali, aksen Jawa Dewi yang begitu kental tidak hilang saat dia berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Padahal ketika tadi berdebat dengannya, aksen itu hilang entah ke mana.
Sementara sang atasan cukup terhibur mendengar cara barunya berbicara, Dewi sibuk memikirkan sebenarnya Mas Adam berasal dari daerah mana. Wajahnya jelas bukan wajah oriental. Tinggi dan postur badannya juga.
"Aku bukan keturunan Jawa," potong Adam sambil tetap menatap lurus ke iris kecoklatan Dewi, "Hanya numpang lahir di Yogya."
"Mas Adam jangan-jangan dukun?"
"Semuanya tertulis sangat jelas di jidat jenongmu." Adam memutar bola matanya dengan bosan.
Dewi terkejut dan melirik keatas, mencoba melihat jidatnya sendiri dan tentu saja itu mustahil.
"Kenapa kamu tinggal di tempat seperti itu?"
Dewi berhenti berusaha melihat jidatnya dan kini menatap Mas Adam. Tatapan dingin yang sama pun disematkan gadis itu saat Adam menanyakan masa lalunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS ADAM!
RomancePemimpin Redaksi minim ekspresi yang tampan, Mas Adam, berusaha memonopoli bawahannya demi memuaskan hasratnya terhadap hobi yang tidak normal. Sang bawahan yang terjebak kemiskinan, Dewi, mencoba menguak misteri terbesar atasannya, Apakah Mas Adam...