Dewi untung bukan main.
Setelah tiga malam makan gratis di tempat mewah, dia berhasil menemukan rumah kosong dua lantai. Kalau bukan karena kebohongannya sendiri, Dewi tidak akan menemukan tempat yang cukup jauh dari jalan besar ini.
Agak mencekam, tapi setidaknya lebih manusiawi dari rumah kosong yang biasa dia susupi.
Lebih tepatnya, rumah kosong yang sudah cukup lama tidak dihuni. Berdasarkan omongan tetangga, rumah ini bekas kejadian perkara -pembunuhan lebih tepatnya. Jadi, tidak ada yang berani untuk menginjakkan kaki di tempat ini.
Tentu saja, kecuali Dewi.
Anak itu tidak takut hantu, dia percaya manusia jauh lebih mengerikan. Untuk itu, Dewi sengaja memilih untuk tidur di kamar di lantai dua. Dia merasa lebih aman di sana ketimbang di lantai satu.
Sebenarnya, mau di atas atau di bawah, kamar lembab dengan dinding bata merah tanpa dilapisi apapun tentu bukan tempat yang sangat nyaman. Tapi Dewi tidak punya pilihan lain. Beruntung, masih ada sebuah kasur tipis yang entah sejak kapan dibiarkan di ruangan gelap gulita ini.
Dinginnya malam menembus masuk di sela-sela genting yang bolong dan dinding yang berlubang. Pakaian tipis yang dikenakan Dewi tidak membuat hal ini menjadi lebih baik.
Namun Dewi sudah biasa.
Lagi pula semua itu sebanding dengan bayaran yang dia berikan untuk kamar dua kali tiga meter ini. Nol rupiah alias gratis.
Di pojokan ruangan, dia bisa mendengar suara cicitan tikus. Tapi memangnya tikut bercicit? Dewi juga tidak peduli dan enggan memikirkan hal itu sama sekali.
Sama seperti tiga malam sebelumnya, Dewi pulang sekitar jam sepuluh dengan perasaan campur aduk bak es teler. Malam ini adalah puncak dari satu set makan malam bersama Mas Adam.
MAS ADAM BENERAN MENGAKUMULASIKAN HARGANE, NDES! TEKE TEKEEE!, batin gadis itu histeris.
Sepulang dari makan malam di Eastman Bowery yang berada di Simpang Lima, Mas Adam mengantarnya pulang dan hanya meninggalkannya dengan sebuah anggukan dan ucapan 'Bill-nya aku tagih besok selepas jam pulang kantor. Jangan lupa.'
Padahal, ini adalah kali ketiga makan malam gratis dengan sang atasan. Semuanya di restoran berkelas.
Berapa piring yang Dewi makan? Setiap malam mencapai lebih dari sembilan piring. Jangan tanya berapa uang yang Adam keluarkan.
Kalau malam pertama dicium di tangan, bagaimana dengan malam kedua dan ketiga yang diakumulasikan?
Pasti mahal ki, aduh, gawat, batin Dewi. Dia masuk ke kamar kosan dadakannya yang begitu berantakan. Dengan lantai yang ditutupi debu, juga akar-akar beringin yang masuk di sela-sela dinding.
Dia tidak bisa bayangkan apa yang menjadi bayaran untuk segala traktiran itu. Traktiran? Itu bahkan bisa dibilang rejeki nomplok! Ciuman di jari telunjuknya tempo dulu jelas bukan bayaran yang sebanding.
Namun itu saja duah membuat Dewi kewalahan. Bahkan, setelah selang dua hari, dia masih dapat mengingat dengan jelas kecupan Adam di jari telunjuknya.
Tatapan sang atasan yang mengarah dengan tajam ke arahya, membuat akal sehatnya hilang barang untuk sejenak. Sensasi yang muncul ketika bibir yang penuh itu menyentuh tangannya. Keduanya digabungkan, maka boom! Akal sehat Dewi meledak dan berceceran kemana-mana.
Itulah momen di saat dunia terasa berhenti bergerak. Dewi tidak bisa melupakan hal itu, entah sampai kapan.
Dari sejak malam itu, Dewi terus-terusan memberikan sugesti kepada dirinya sendiri. Antara 'Mas Adam kui gay, Mas Adam kui gay, Mas Adam kui Gay' atau 'Mas Adam podo karo bapak, Mas Adam podo karo bapak, Mas Adam podo karo bapak, Mas Adam podo karo bapak'.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS ADAM!
RomancePemimpin Redaksi minim ekspresi yang tampan, Mas Adam, berusaha memonopoli bawahannya demi memuaskan hasratnya terhadap hobi yang tidak normal. Sang bawahan yang terjebak kemiskinan, Dewi, mencoba menguak misteri terbesar atasannya, Apakah Mas Adam...