13

26 3 0
                                    


Aku masih saja menangis, sehingga kak Jaehyun mengantarkanku ke kamar dan menungguku sampai aku bisa tertidur.

Ia terus menggenggam tanganku, sangat terlihat jelas bahwa ada penyesalan dan kekhawatiran di dalam dirinya.

"Haena, maafin gue."

"Udah kak, jangan minta maaf terus,"

"Gue nyesel Haena. Harusnya kemarin gue gak jemput keluarga itu dan bawa mereka ke sini."

"Maksud kakak?"

"Pas gue suruh lo berangkat sendiri, gue di suruh papi buat jemput keluarga om Nichkhun di bandara, dan bawa mereka ke sini,"

"Kalau ternyata mereka ada niatan buat jodohin lo sama anaknya, gue gaakan ngelakuin itu," kak Jaehyun menunduk, menggenggam tanganku semakin erat.

"Ini bukan salah kakak, gak apa-apa kak," aku berusaha tersenyum walaupun berat.

"Gue gakbisa gak kenapa-kenapa Haena. Gak bisa,"

"Terus apa yang mau kakak lakuin sekarang? Semua udah terlanjur kak, ini udah keputusan papi."

Kak Jaehyun tidak menjawab apa-apa. Ia hanya berulang kali menghembuskan nafas beratnya.

"Gue mau tidur, kakak ke kamar aja, tidur. Udah tengah malem," kak Jaehyun masih tetap duduk di sampingku,

"Gue gak apa-apa kak,"

Kak Jaehyun terus-terusan menatapku dengan tatapan yang sama, sedih, marah, khawatir dan merasa bersalah. Sebelum akhirnya menurutiku untuk pergi ke kamarnya.

***

Pagi harinya aku terbangun dengan wajah yang bengkak, efek semalaman menangis membuat wajahku berubah seperti monster.

Aku tidak mau masuk kelas dengan keadaanku seperti ini.

Tadi aku sudah menghubungi Yuqi dan Doyoung bahwa aku tidak enak badan.

Dasar mereka yang sebenarnya sangat peduli padaku, mereka khawatir dan memaksa akan datang ke rumah setelah kelas usai.

Tadinya sih mereka juga ikut-ikutan tidak akan masuk kelas, tapi aku memaksa mereka untuk masuk kelas dan mencatatkan materi hari ini untukku.

Aku masih berbaring di kasurku, melihat ke arah jendela. Pancaran sinar matahari sudah sepenuhnya menerangi seisi kamarku.

Mami Irene juga sempat masuk kamarku, namun aku pura-pura tertidur sehingga mami Irene hanya mengelus rambutku dan membetulkan selimutku.

Aku tahu, mereka sangat peduli dan menyayangiku. Aku bisa merasakan bahwa mereka memiliki perasaan yang tulus padaku. Tapi entah kenapa papi Suho semalam mengatakan hal tersebut.

Ketika membayangkan hal semalam, hatiku masih terasa sakit. Sangat sakit.

***

Benar saja, saat kelas usai Yuqi dan Doyoung langsung ke rumahku. Saat ini mereka sedang di kamarku, bukannya menanyakan kabarku mereka malah memakan semua makanan yang sudah mami Irene siapkan untukku, karena mami Irene tadi pamit akan ke rumah nenek sebentar dan menitipkanku pada Yuqi dan Doyoung.

Mami Irene kenapa harus menitipkanku pada mereka sih, jadi kan seperti ini.

"Lo kenapa deh Hae?" tanya Yuqi lalu tiduran di samping kiriku.

"Gue dijodohin," ungkapku tanpa basa-basi lalu membuat doyoung yang sedang minum tersedak lalu batuk sampai mengeluarkan air mata, dan Yuqi yang sedang memegang bungkusan roti tiba-tiba menjatuhkannya.

"Lo serius Hae?" kini Doyoung sudah pindah ke sebelah kananku.

"Hm," jawabku singkat sambil terus-terus memindahkan layar ponsel dari menu kembali ke wallpaper.

"Sama siapa? Kok bisa?" masih tanya Doyoung.

"Anaknya temen papi, namanya Ten,"

"Papi lo tau kan Hae kalo lo benci jodoh-jodohan? Tapi ke-"

"Papi bilang gue harus tau diri dan gak boleh nolak masalah perjodohan ini," jawabku sebelum pertanyaan Doyoung usai, kini pelupuk mataku sudah penuh dengan air yang bisa kapan saja turun kembali membasahi pipiku.

"Gue gak punya siapa-siapa lagi selain mereka, gue takut gue kehilangan mereka kalo gue nolak perjodohan ini," kini aku tidak bisa membendung air mataku lagi.

"Haena.." kini Yuqi yang bersuara, tapi ia malah ikut menangis dan memelukku.

Yuqi, sahabatku memang seperti itu. Jika masalah yang aku ceritakan sudah berat seperti ini, ia tidak akan banyak berbicara dan akan lebih memilih untuk memelukku.

"Gue semalem mau hubungin lo berdua," kataku yang masih terisak.

"Tapi ko lo gak hubungin kita sih? Gue kan bisa nangis bareng-bareng sama lo dari semalem!" kata Yuqi yang masih terus menangis dan memelukku.

"Semalem gue liat notif dari Jungwoo, gue pas itu udah bener-bener gak pikir panjang, jadi gue minta ketemu sama dia aja," ucapku yang jelas saja membuat Yuqi dan Doyoung kaget.

"Jungwoo pegawai paman Kim?" tanya Yuqi sembari melepas pelukanku.

"iya,"

"Kan gue ngerasa gagal jadi sahabat lo kan." Yuqi kembali memelukku bahkan lebih erat.

Doyoung tidak mengatakan apapun, ia hanya menggenggam tanganku, dan aku rasa ada penyesalan juga dalam dirinya.

Padahal ini bukan salah mereka karena tidak ada untukku semalam.

*****


Halooo semuanyaaa

Maaf yaa sampe chapter ini Jungwoonya masih jarang-jarang. tapi di chapter selanjutnya jungwoo bakalan lebih sering kooo^^ makasih yang masih mau baca sampe chapter ini:')

Jangan lupa votenya yaaaa>.<

Lets Not Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang