Detik-Detik Terakhir

365 5 2
                                    

Aaarrghhhh!

Teriakan disertai isakan tangis itu berhasil membuat gadis mungil berambut ikal itu terduduk lemas di pasir putih Pantai Bira. Untung saja hari sudah gelap, hanya segelintir orang yang masih berlalu lalang di pinggiran pantai itu. Suara teriakannya lumayan kencang, namun suara ombak sedikit dapat menyamarkannya.

Detik demi detik berlalu, ia tak juga beranjak. Tidak lama setelah itu, isakan tangisnya mereda. Ia menghapus bekas air matanya dengan pinggiran bajunya. Kembali terngiang kata-kata Ayahnya di telinganya, sejam sebelum ia berangkat ke pantai bersama teman-temannya.

"Zahra, kamu boleh pergi ke Pantai Bira bersama teman-teman kamu. Tapi ingat ya Nak. Seminggu lagi adalah hari pernikahan kamu. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai kamu kenapa-kenapa."

Ia mengingat mata ayahnya yang sarat kekhawatiran, tidak sanggup melihat anak gadis satu-satunya pergi berwisata tanpa dirinya. Sedangkan dalam hatinya, ia hancur. Tidak pernah sekalipun ia menerima perjodohan itu.

"Ini bukan kisah Siti Nurbaya, ini hidupku, aku yang berhak menentukan kapan dan dengan siapa aku harus menikah kelak," ungkapnya dalam hati. Ia tidak lagi memiliki tenaga untuk berteriak. "Aku toh tidak mengenal cowok itu, siapa sih dia? Kenapa sih dia mau menikah dengan gadis SMA seperti aku?," gumamnya lagi.

"Sudah hampir jam 10 malam, dek. Kenapa belum balik?" suara itu menyentakkan tubuh Zahra, bayangannya tentang seseorang yang akan menikahinya minggu depan seketika memudar. Ia menatap wajah pemilik suara itu sejenak, seorang laki-laki jangkung, berambut pendek dan sedikit ikal yang dibiarkan berantakan. "Jam segini banyak pemuda-pemuda nakal berkeliaran di pinggiran pantai loh. Mendingan kamu balik deh!" ujar laki-laki itu lagi.

"Jam segini?" tanya Zahra.

"Iya. Mari aku antar saja sekalian!"

"Kamu pikir aku bodoh, huh?" suara Zahra mengeras. "Kamu kan salah satu dari pemuda-pemuda nakal itu? Mau kamu apa? Awas kalau kamu berani macam-macam sama aku!" Ancam Zahra sambil beranjak pergi dari tempat itu. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menarik tangan kanannya. Ada dorongan yang kuat dalam dirinya untuk segera berteriak. Terlambat. Mulutnya sudah dibungkam erat-erat oleh tangan si pemuda yang mengajaknya berbicara di pinggiran pantai tadi. Ia mencoba melepaskan diri, namun ia tidak cukup kuat untuk melawan.

"Ya Tuhan, aku lebih baik kehilangan detik-detik terakhirku menjadi anak SMA daripada kehilangan detik-detik terakhirku di dunia. Aku belum siap," mohonnya dalam hati. Ia masih meronta-ronta. Berharap pemuda itu segera melepaskannya. "Ayah maaf, Zahra tidak menjaga diri dengan baik!" gumamnya lagi. Air matanya menetes. "Tuhan, tolong aku, pleaseee! Aku janji akan mengikuti semua perintah ayahku bila aku selamat malam ini!" Tiba-tiba ia merasa kepalanya sangat pusing. Setelah itu ia tidak mengingat apa-apa lagi.

***

Suara ombak di pagi hari membangunkan Zahra dari tidurnya. Perlahan ia membuka matanya lalu menyadari dirinya tengah berada dalam sebuah kamar. Ia teringat akan kejadian semalam lalu dengan perasaan gusar memeriksa pakaian dan tubuhnya di balik selimut. Ia merasa tidak ada yang aneh. Pakaiannya pmtang digunakannya semalampun masih berada di tubuhnya.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar di luar kamarnya.

"Loh!!! Kok Nak Farid ada di sini?"

Ia mengenal suara itu. "Ayah? Kok di sini sih?" batinnya.

Dari balik jendela kamar, Ia bisa melihat ayahnya sedang berbicara dengan akrabnya dengan seseorang, lebih tepatnya, pemuda yang ia jumpai di pinggir pantai semalam.

"Ayah kenal sama dia?" Tanya Zahra ketika telah berada di teras Villa bersama Ayahnya dan pemuda itu.

"Eh, Kalian sudah saling kenal rupanya? Bagaimana ceritanya?" tanya Ayahnya penasaran. Padahal ia baru akan mengenalkan keduanya sepulang Zahra dari berwisata.

"Dia..." Zahra mencoba menjelaskan. Namun pemuda itu memotong kata-katanya agar ia tidak memberitahu apapun pada ayahnya. "Hmm, sudah kok, om!"

"Oh, baguslah. Berarti Zahra sudah setuju menikah dengan Nak Farid?"

Menikah? Sama pemuda ini? Kok bisa? Pikir Zahran.

Aku mengingat janjiku semalam, kurasa detik-detik terakhirku menjadi nak SMA akan segera berakhir. Akupun mengangguk. Kulihat seutas senyum terbentuk di bibir ayah dan juga pemuda itu.

"Mmm, Aku bisa menunggu sampai Zahra siap kok, Om!" kata Farid pada Ayahku kemudian. Memecah keheningan yang sempat menyergap kami bertiga.

"Seriusss?" tanya Zahra dan Ayahnya bersamaan. Kini mata Zahra berbinar-binar sementara wajah ayahnya sarat dengan kebingungan.

Farid mengangguk lalu tersenyum. Manis juga, pikir Zahra. Tapi bukan itu yang terpenting bagi Zahra saat ini. Seketika, ia mengucap syukur dan memeluk ayahnya sambil berjingkrak-jikrak bahagia.

Welcome back my Putih Abu-Abu, Welcome back my life!

"Hmm, makasih ya udah mengerti aku." Ucap Zahra pada pemuda itu.

======================================================

Asli cerita ini gaje. Tapi daripada hanya tersave di blog dan laptop tanpa satupun yang membaca. Mending juga saya share kan, kali aja ada yang suka dan berbaik hati untuk nge-vote. Hhihihi.

Thanks anyway yang sudah bersedia dan capek-capek membaca kisah-kisah gaje di edisi ini. So happy because of you, guys. Love you :*

Sepotong Cerita Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang