Rama, Shinta, dan Si Kacamata Cupu

238 6 4
                                    

Aku akan mengurus beberapa keperluan yang harus diurus di Jakarta selama seminggu sebelum aku diberangkatkan ke Jepang. Aku akan bersekolah di sana selama 2 tahun. Suamiku? Tentu saja aku akan mengajaknya.

Pesawatku seharusnya sudah take off saat ini, namun orang bandara menelponku sore tadi bahwa pesawat menuju Jakarta delay hingga pukul 10 malam sementara jam yang kukenakan telah menunjukkan pukul 7.30. Itu artinya aku harus cek in di bandara kurang lebih setengah jam lagi. Lalu, apa yang kulakukan di kafe bersama si Kacamata Cupu ini? Benakku. Aku harus segera berangkat.

"Kamu sudah memberitahu suamimu bahwa pesawatnya delay?" keningku berkerut, mencoba mengingat-ingat kejadian sore tadi hingga sekarang.

"Ya ampun, aku lupa. Thanks for reminding bro," dia pasti sibuk sehingga lupa menelponku. Kupikir aku saja yang menelponnya.

"Nyari apa, ta?" tanya si Kacamata Cupu, oya dia sahabatku sejak SMA, namanya Darman, lengkapnya Sudarman. Dia asli Jawa, sementara aku asli Sulawesi. Aku akan tertawa geli setiap kali mengingat kejadian saat kali pertama kubertemu dengannya sore itu di SMA tercinta kami. Ya kejadiannya di WC sekolah, ia melompat-lompat sambil sesekali bergidik. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya. Dia sangat takut dengan serangga yang bernama kecoak, serangga kecil yang menurutku tidak mengerikan sama sekali.

"Nyari, ini nih!"Aku menakutinya dengan serangga kecoak mainan yang kerap kali kugunakan untuk menjahilinya. Kulihat ia bergidik sambil mendorong kursinya menjauh dari tempatku. Tawaku pecah melihatku tingkahnya. Ia masih saja belum bisa menghilangkan fobianya terhadap kecoak. "Fobia kamu belum juga sembuh ya?" Aku berdecak.

"Ah rese' banget kamu. Aku hampir mati karenamu, tahu," ujarnya sambil mengusap-usap datanya. Merapikan letak kacamatanya dan kemejanya. Dasar cupu, benakku.

"Sorry bro. Aku lagi pusing nih, Hpku yang buat khusus nelpon Kak Rama gak ada." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Nyari yang bener dong!"

"Sudah, gak ada nih. Lihat aja kalau gak percaya!"

"Gak ah, tas kamu berbahaya." Tawaku kembali pecah mendengar kata-katanya.

"Ya sudah, kita balik homeku dulu deh, kayaknya sih ketinggalan. Aku pamitan langsung saja sama Kak Rama. Ia pasti sudah di rumah jam segini."

"Tapi kan kamu harus cek in 20 menit lagi."

"Telat dikit ga papa kok. Orang bandara pasti mengerti."

"Kamu yakin, rumah kamu lumayan jauh loh dari bandara."

"Yakin, tidak usah cerewet. Aku aja yang bawa mobilnya."

"Gak usah, aku saja."

"Nah gitu dong, ini baru sahabatku yang paling cupu sedunia. Hahaha." Kulihat ia memonyongkan bibirnya.

"Nah kamu sahabatku paling ambisius sedunia," kata Darman sambil menjulurkan lidahnya. Tingkah kami masih belum berubah, masih sama seperti 9 tahun yang lalu.

Sampailah aku di rumahku yang sederhana ini. Meskipun begitu, aku dan suamiku, Kak Rama, mendapatkannya dengan hasil peluh kami selama setahun ini. Sebenarnya rumah ini masih dicicil. Kami tidak mungkin mendapatkan uang untuk membeli rumah hanya dalam kurun waktu setahun.

Aku dan Darman saling berpandangan. Rumah ini terlihat sepi layaknya rumah tak berpenghuni. Lampu di beranda rumahpun tidak dinyalakan. Tetapi kulihat mobil Kak Rama sedang terparkir rapi di dalam garasi. Ia mungkin sudah tidur dan lupa menyalakan lampu, pikirku.

"Kamu tunggu di mobil saja. Aku cuma akan mengambil Hpku dan pamit." Darman mengangguk saja mendengar kata-kataku. Aku sebenarnya lebih memilih diantar sama suamiku sendiri daripada menyusahkan orang lain. Tetapi suamiku bilang ia sedang banyak kerjaan sehingga tidak sempat mengantarku ke bandara. Apa dia sudah tidur ya karena kelelahan? Semoga saja acara pamitanku tidak mengganggu tidurnya.

Sepotong Cerita Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang