bab 9a

4.6K 346 21
                                    

Setelah mengantar Mas Diga, Mas Adit kembali ke kamar sambil menenteng bungkusan plastik. Diletakkannya bungkusan itu di atas nakas. Roti dan air mineral menyembul keluar. Lalu dia mengambil sebuah kursi kecil di sudut ruangan untuk dia pakai duduk di samping ranjangku. Aku mengamatinya dalam diam.

"Jadi kapan rencananya mau kasih tau Mas kalau disini ada dedeknya ?" tanya Mas Adit sambil memainkan jemari tanganku.

Aku menggeleng. "Belum tau, nunggu aku nggak sebel sama Mas kayaknya."

"Ckk... Kok gitu, masa ayahnya harus dikasih tau belakangan,"

"Siapa suruh akhir akhir ini nyebelin banget, main rahasia rahasiaan."kujawab dengan nada merajuk yang sangat ketara.

"Hehe iya maaf, nanti kalau di rumah Mas ceritakan semuanya tanpa terlewat. Kata Diga tadi kamu sebentar lagi boleh pulang, cuma suruh nunggu infusnya habis,"

Bibirku mencebik,"nggak ada nunggu sampai di rumah. Aku maunya sekarang. Lagian infus juga masih setengah, masih lama habisnya."

"Ckk... Iya iya tapi sambil makan roti ya, tadi pagi kamu belum makan kan. Kasihan dedeknya,"Mas Adit mengambil satu roti dari dalam plastik, membuka bungkusnya lalu menyuapiku.

Kukunyah pelan pelan, enak nggak mual. Sepertinya si dedek senang di suapi ayahnya.
Mataku melihat Mas Adit dengan gesture santai, tanda aku siap mendengarkannya.

"Kamu ingat waktu kita sedikit ribut pagi pagi, waktu itu Mas keluar tadinya pengen ngerokok tapi Mas selalu kepikiran ekspresimu pagi itu. Kelihatan sangat tertekan dan terluka. Dan itu karena suami nggak becus kayak Mas, dulu Mas pernah berjanji sama diri sendiri mau bahagiain kamu bagaimanapun caranya. Tapi ternyata malah sebaliknya, Mas jadi sangat malu sama kamu,"

Mas Adit menarik nafas panjang, tatapan matanya menerawang dan terlihat sedih, mau nggak mau mataku ikut berkaca kaca.

"Dulu sekali waktu Mas masih mahasiswa, Mas punya 3 sahabat dekat. Kami membuat sebuah perjanjian. 10 tahun dari tahun kelulusan, kami akan bertemu kembali sebagai orang sukses. Saat ini kami hanya terhubung dari sosial media. Dari sosial media itu juga Mas tau kalau mereka dah jadi orang sukses. Karena itu Mas selalu pilih pilih pekerjaan. Mas nggak mau pekerjaan asal asalan meskipun halal.
Iyaaaahh ... Mas segengsi itu, dan gengsi itu yang bikin kamu menderita hidup sama Mas."

"Lalu saat kamu pagi pagi berangkat kerja sama Diga itu Mas merasakan ketakutan yang sangat besar. Takut kalau kamu lelah hidup sama Mas, takut kalau kamu bakalan ninggalin Mas,"

Mas Adit menggenggam erat jemariku yang tidak terhubung selang infus, kepalanya menunduk. Air mataku tak terasa sudah mengalir di pipi.

"Lalu Mas pikir Mas harus ngelakuin sesuatu. Nggak bisa terus seperti ini. Waktu lihat sisa tanah dari rumah kita, Mas pikir itu bisa dibuat ruangan lagi untuk tempat usaha. Tapi tempat usaha apa Mas juga masih bingung waktu itu. Setelah berpikir panjang akhirnya Mas ke rumah Mas Roni berniat meminta saran. Kamu tau kan hubungan kami nggak seakrab saudara kandung yang lain, jadi dia kaget waktu tau kalau Mas jadi pengangguran selama berbulan bulan, dia bilang untung istriku itu kamu. Kalau wanita lain mungkin sudah ditinggal di bulan ketiga jadi pengangguran, yahh dan Mas rasa Mas Roni benar. Mas sangat beruntung punya kamu Tha,"

Kalimat terakhir Mas Adit di ucapkan dengan menatap manik mataku. Tatapannya sangat dalam, aku membalasnya dengan tersenyum hangat.

"Kamu tau Tha, ternyata Mas punya harta banyak yang di simpan Mas Roni,"

Aku mengernyit bingung, sedangkan Mas Adit malah terkekeh.

"Setelah Bapak sama Ibu meninggal, Mas memang nggak pernah meminta harta peninggalan beliau. Semua diurus Mas Roni termasuk usaha peninggalan Bapak dilanjutkan sama dia. Selama ini usaha tour and travel peninggalan Bapak berkembang sangat baik di tangan Mas Roni bahkan sudah membuka satu cabang lagi. Dan dari keuntungan usaha itu Mas Roni selalu menyisihkan untuk bagianku dan Iwan,"

Sambil bercerita Mas Adit tak berhenti menyuapiku. Hingga tanpa sadar rotinya habis. Diangsurkannya air mineral untuk kuminum.

"Nominal nya lumayan banyak, cukup untuk melunasi rumah kita sama bangun tempat usaha. Atas saran dari Mas Roni juga Mas mau bikin usaha tour and travel di rumah kita. Nggak benar benar memulai dari nol karena nanti jadi cabangnya tempat Mas Roni. Jadi customer yang dari Bogor dialihin ke kita. Untuk karyawannya nanti ambil dari karyawan lamanya Mas Roni, 2 orang dulu. Kalau prospeknya bagus nanti kita tambah karyawan lagi."

Aku mengangguk angguk tanda memahami penjelasan panjang lebar Mas Adit. "Terus Rahma itu siapa?"

"Rahma ?" Mas Adit tampak berpikir sebentar,"Bukan siapa siapa kok."

"Bukan siapa siapa kok habis di telpon langsung buru buru pergi,mana telponnya ngumpet di kamar." balasku judes.

Mas Adit berdiri lalu membawaku ke pelukannya. "Ya ampun istriku cemburu,"

Ckk... Kusikut perutnya tanda protes, dia terkekeh pelan. Dia duduk kembali sambil menahan senyum, bola mataku berputar menyebalkan sekali dia.

"Memang bukan siapa-siapa​, dia cuma temen yang membantu perijinan usaha kita. Yaaahh waktu itu ngumpet karena mau ngomongin penjualan motor Mas,"

"Hah ?! Motornya kenapa dijual ? Itu kan motor kesayangan Mas ?"

"Kamu tau nggak kapan Mas tau kalau kamu hamil ?"

Aku mengernyit setengah berpikir,"tadi kan ?"tanyaku nggak yakin.

"Bukan, kamu ingat waktu Mas bawain minum ke kamar malam malam itu ?"

Kuanggukkan kepalaku tanda mengingatnya.

"Waktu meletakkan gelas di nakas Mas nemu testpack, karena nggak tau arti garisnya Mas sempat browsing di internet. Dari situ Mas tau kalau kamu hamil. Mas sangat bahagia Tha, akhirnya Mas akan jadi seorang ayah. Kalau kamu hamil pasti semakin nggak mau Mas bonceng pakai motor itu. Akhirnya Mas memutuskan buat jual saja, malam itu juga Mas chat Rahma buat bantu menawarkan ke kenalan atau keluarganya siapa tau ada yang berminat. Mas juga posting di grup WhatsApp yang Mas ikuti. Ternyata motor itu berjodoh sama suaminya Rahma, Raka suami Rahma mau membayar dengan harga yang Mas tawarkan. Dan yahhh sekarang motor itu sudah sama majikan barunya."

"Tapi kan itu motor kesayangan Mas, aku masih ingat banget waktu Mas cerita gimana harus berhemat selama berbulan bulan buat beli motor itu,"

"Mas lebih sayang sama istri dan anak Mas, lagian Mas nggak suka kalau istri Mas lebih suka di bonceng sama teman kerjanya yang sok perhatian itu."

"Ckk... Cemburu kok sama Mas Diga, dia memang orangnya baik begitu kok ke semua orang," balasku nggak terima.

"Tapi sebagai lelaki Mas tau kok kalau perhatian dia ke kamu itu beda Tha."

"Ishh, nggak percaya ya udah."

"Iya Nyonya Adit, Mas tau kok kalau sayangnya Nyonya Adit sudah mentok di Aditya Rizky. Nggak mungkin pindah ke lain hati." Mas Adit menjawab konyol sambil tertawa, yang mau nggak mau membuat aku juga ikut tertawa.

"Berarti sekarang Mas nggak punya kendaraan?"

"Mas sekarang pakai mobil peninggalan bapak. Mas Roni suruh pakai itu daripada nggak terpakai, tapi Mas nggak mau pakai gratis jadi uang hasil penjualan motor Mas transfer ke rekening Mas Roni."

Tbc.

Selamat membaca, terimakasih yang mau Voment.

Bab 9 aku bagi 2 karena kepanjangan ... sisanya insya Allah nanti malam.

Pengen ada POV Mas Diga , semoga waktunya cukup.

BAHTERA !!! (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang