Derit dari barera dan sisir beradu menghasilkan nada tak berimbang. Pun limbuhan dan jinjingan serta patitihan mengerang manja dalam buaian tangan Si Penenun. Entah sutra maupun kapas menuntut untuk diuntai lebih dalam. Mereka tenggelam dalam cumbu dengan udara busuk di ruang penuh perca.
Si Penenun memainkan jari – jari tangan. Lalu dengan mata tajam, ia melihat pola per pola dalam kekosongan corak. Mengalirkan kehidupan baru dari kosong tersebut. Kemudian tertiuplah “nyawa” melalui peluh serta perca sebagai kotoran. “Hidup, temuilah para pemilikmu sayangku,” begitu kiranya yang keluar sebagai firman.
“Brum.... Ngennngggg... Hati – hati ada penjahat yang ngebut di jalan! Minggir semua minggir! Brak...” seru anak yang asik dengan imajinya. Ia tidak peduli dengan bau menyengat serta semrawut perca di lantai. Mobil di tangannya ditabrakkan di kaki Si Penenun. “Ibu, awas penjahatnya akan kabur hadangi dia!” serunya lagi. “Iya,” jawab ibunya.
Senja mengusaikan matahari, usailah juga usaha Aji dalam mengajak ibunya untuk bermain. Dengan sebal dirinya menuju pintu yang sedari tadi terdengar mempersilahkan seseorang masuk. “Hai, anak ayah kog cemburut begini? Mainanmu rusak?” tanya ayahnya selepas sepatu kerja melayang ke dalam rak. Aji hanya mengkerut dan mengacuhkan perhatian tersebut. Senyum tersungging, ia mengerti apa yang dialami anak kecilnya itu dan mengusap kepalanya. Ia menuju ruang tenun dengan nafas panjang dihembuskan.
“Sore Ratnawati, dewi kahyanganku. Sudah makan? Apakah kecupan hangatmu hadir lagi malam nanti?” ucapnya sesaat setelah melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang tenun.
“Terimakasih, makanlah terlebih dahulu”.
“Baiklah kalau begitu. Jaga kesehatanmu ya, sayang. Jangan terlalu memaksa. Kau punya banyak waktu denganku, Randi suami tersayangmu, juga,” balasnya sembari menutup kembali pintu dengan tanpa respons kembali dari istrinya.
Anak yang selalu menggoda untuk sekedar reaksi darinya. Belum lagi suami pemanja dengan gelagat penggodanya tiap sepulang kerja. Apa mungkin dia bisa menyelesaikan penciptaan tenunan dengan segala kericuhan itu?, celetuk Ratnawati dalam batin.
Siang kali ini lebih tidak menyenangkan. Aji kembali dari sekolah dengan badan tasnya yang robek, juga seragam sobek di sana – sini. Ratnawati, yang matanya tajam tak terhingga, menganalisis beberapa legam di wajah, tangan, dan kaki. “Buka bajumu, lalu mandi. Taruh di dalam keranjang dekat ruang tenun,” ujarnya dengan badan berbalik. Aji hanya menurut karena tidak tahu apakah ibunya marah atau tidak. Ia hanya tidak ingin ibunya berpikir terlalu dalam.
“Ibu aku sudah selesai mandi, aku membawa mainan ke dalam ya,” monolog Aji kepada ruang tenun dan ibunya. Robot mainan jahat, berwarna hitam dengan mata merah serta seringai, menendang robot yang tampak lebih kalem. “Mati kau! Tidak ada yang mau melindungimu bukan!? Hahaha!” teriak robot mainan jahat. Dengan tangan Aji sebagai pengendalinya, ia membanting, melempar, dan menggencet lawan kalemnya. Tangan Aji tidak berhenti hanya dengan itu, ia mengobrak – abrik robot yang tampak lebih kalem. “Dasar anak-tanpa-ibu,” lanjut Aji seusai seluruh bagian robot hancur berantakan. Sekali lagi, raga dan jiwa Ratnawati hanya merespons dengan derit – derit.
Sekali lagi, Aji menekuk wajahnya. Ia keluar dari segala rutinitas ibunya. Berjalan untuk menyambut ayahnya melalui pintu bercorak cokelat yang tampak pudar catnya di beberapa sisi. “Aji, kau kenapa? Wajahmu tampak legam. Tangan dan kakimu semua terluka. Apa yang terjadi padamu nak?” kejut ayahnya seusai melempar sepatunya. “Tak apa, yah. Hehehe,” sambut Aji dengan senyum kecil.
Randi segera menggendong anaknya. Ia tidak sanggup melihat anaknya tertatih hanya untuk berjalan. Direbahkannya Aji di atas sofa yang benangnya telah kusut berhamburan. Ia mengambil beberapa antiseptik. Aji meringis saat antiseptik menyentuh luka – lukanya. Randi hanya menahan kekeh ketika melihat ekspresi lucu anaknya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita untuk Mereka yang Ditinggalkan
Short StoryMalam ini aku percaya, di luar sana pasti ada jiwa-jiwa lara yang ditinggalkan kesayangan mereka. Dimulai dari bintang utara meredup saat aku memanjatkan doa, meskipun aku sendiri tak percaya pada doa. "Tuhan, berikan mereka kekuatan untuk sekedar h...