Tiga Pemuda di Hadapan Pintu

12 2 7
                                    


Tiga pemuda melintasi jalan kematian. Kiri dan kanannya diisi tumbuhan - tumbuhan kering. Udaranya mencekam tidak layak dibau. Tanah yang diinjak panas, terkadang mengeluarkan gas saat dipijak. Belum lagi dengan kondisi telanjang ketiga pemuda tersebut melewatinya.

Di ujung jalan, mereka menumui sebuah pintu. Pintu yang terbuat dari tembaga sehingga warnanya menyerupai emas. Ukurannya luar biasa, tentunya sangat sangat walaupun didorong oleh ketiga pemuda itu. "Tunggu saja, mungkin ini seperti dongeng dimana terdapat kucing ataupun penjaga yang lain," sahut salah satu pemuda berambut pirang. "Benar juga, kita lihat dulu. Pintu ini juga tampak panas sekali dilihat dari asap yang mengepul," jawab pemuda berambut hitam. Pemuda lain, pemuda tanpa rambut, hanya diam saja sembari terus melihat pintu tembaga di hadapannya.

"Selamat datang kalian, orang - orang mati yang beruntung".

Kedua pemuda yang bersahutan sebelumnya terdiam. Mereka terkejut akibat teriakan tersebut. Pemuda tanpa rambut tetap terpaku dalam renungannya di hadapan pintu tembaga.

"Kaliren berambut pirang, Keluwen berambut hitam, dan Mbideg tanpa rambut bersyukurlah kepada Tuhan kalian. Ia Maha Pengasih telah memberi kesempatan pada kalian untuk melewatiku Lawang sebelum menghadap neraka".

Kaliren bergembira ria. Ia langsung melompat - lompat kegirangan. "Terima kasih, Tuhan. Engkau penyelamatku. Engkau Sang Pemberi Kebahagian. Pencipta dari segala pesta. Tuhanku memang asyik," teriaknya sembari menengadahkan tangan.

Buru - buru bersimpuh, dengkul Keluwen robek. Merapatkan jari - jari tangannya lalu menempelkan pada dahi. Bibirnya terus mengucap ampun, ampun, dan terimakasih. Beberapa kali ia menutuk kepalanya dengan katupan tangan. Robek di dengkulnya kembali, lalu robek lagi, kembali lagi, dan terus seperti itu dalam simpuhan.

Menonton gelagat kedua orang di samping kanannya, Mbideg bersujud. Menghadap ke arah barat sesuai instingnya, ia merapatkan tubuhnya dalam sujud. "Ampuni aku Tuhan, tolonglah orang - orang disekitarku. Kasihanilah aku dan mereka. Berikan pengampunan pada kami, Tuhanku yang Maha Pengampun."

Tumbuhan yang mengering kembali segar, lalu kering lagi berulang jutaan kali. Tempurung Mbideg hancur, utuh, dan seterusnya. Tempat menapak joget Kaliren sampai bolong keluar asap. Dengkul Keluwen bahkan sudah tidak layak disebut dengkul. Lawang masih tak merespon.

Haduh biyung dengkul sudah tidak berupa sampai kapan teriak hati Keluwen.

Teg kretek teg teg panas sekali ini, tulang remuk semua hardik Kaliren dalam jogetnya

Mbideg masih bersujud. Mohon ampun terus dengan sesekali melirik tindak tanduk dua orang di sampingnya. Belum sampai hati ia berhenti mohon ampun ke Tuhan. Ampun Tuhanku, ampuni mereka. Ampuni aku yang tidak tahu menahu ini.

"Sudah, cukup!!! Bosan aku melihat kalian seperti badut!!!" Teriak lawang menggelegar.

Kaliren dan Keluwen buru - buru berhenti dan menunduk di depan Lawang. Mbideg tak lama mengikuti ketika melirik kedua orang di hadapannya berhenti melakukan rutinitasnya. Ia tersandung karena puyeng melandanya. Bodoh! serentak pikir Keluwen dan Kaliren. Lawang tertawa terbahak menonton Mbideg kelimpungan.

"Aku disuruh bertanya padamu, wahai pendosa" lirih Lawang. "Sungguh beruntung kalian manusia - manusia bodoh diberi kesempatan!" nadanya meninggi. Kaliren dan Keluwen langsung berbinar. Dipasangnya telinga baik - baik, tegap bibir mereka untuk pembelaan saat disebut dosanya nanti, dan memelas raut yang ditimbulkan. Sedangkan Mbideg masih saja kelimpungan.

Lawang terdiam sejenak. Ia tampak marah dengan tingkah Mbideg yang main - main. Disambarnya Mbideg dengan gagang, hancurlah tubuh Mbideg. Belum lama kembali utuh, disambar lagi, hancur lagi. Keluwen dan Kaliren hanya gemetar menonton dengan sesekali muntah. "Cukup main - mainnya, Mbideg?" Mbideg langsung bersujud lama dan meminta maaf. Ia tampak lebih serius sekarang.

"Baik, kita mulai darimu Kaliren. Apa dosamu?"

"Memperkosa seorang pelacur. Itu bukan salahku. Dia sendiri yang menggoda. Bajunya minim, baunya meningkatkan birahi, dan tubuhnya aduhai sekali. Itu salahnya, dosanya, bukan a..."

Blar!!! Kaliren tersambar petir hingga hangus tubuhnya. Kratatatak... tanah di bawahnya berguncang lalu berlubang. Ia jatuh jauh menuju neraka terdalam.

"Bodoh! Jadi manusia kog selangkangan diturutin. Mau perempuan baju minim, mau perempuan telanjang, kalau tidak ejakulasi dini ya bakalan aman aja tuh perempuan dari kau!" gerutu Lawang. "Oke sekarang kamu!" Keluwen terlonjak. Tubuhnya gemetar hebat, takut salah jawab. "Mbideg, jawab pertanyaanku!" tunjuk Lawang. Rasain tuh, syukur bukan aku ucap Keluwen.

Mbideg yang masih bersujud memohon maaf tidak mau berhenti. Dihentak dirinya oleh Lawang, dia masih bersujud memohon maaf. "Mbideg!!!!" teriak Lawang berulang kali. "Gila kamu kau, tulus sekali" "Yasudah, Keluwen saja. Susah mengganggu orang tulus. Ayo jangan takut, kesempatan emas ini bisa masuk surga" celetuk Lawang. Keluwen terhenyak.

"Apa dosamu?"

"Saya mencuri, tuan" Keluwen memelas

"Loh, kau kan kaya. Kenapa harus mencuri?" Lawang keheranan

"Sebenarnya saya tidak kaya. Kakak saya yang kaya. Tetapi, setiap hari saya tidak dikasih makan. Saya kelaparan, jadinya terpaksa mencuri." sesengguk Keluwen

Lawang memandang dengan iba. Ia berkaca - kaca mendengar cerita Keluwen. Saat dirinya ingin mengelus Keluwen, seekor menyambar Keluwen. "Eladalah gublik," Lawang kaget. Elang itu menukik langsung menuju neraka terdalam dengan Keluwen diparuhnya. "Bohong kog keterusan. Percaya aja aku ini. Mana bisa Tuhan dikadalin sama kau, Keluwen Keluwen"

Pandangan Lawang beralih ke sasaran terakhirnya. Mbideg berhenti bersujud memohon ampun karena terkaget Keluwen disambar elang. Ia kembalu membenarkan posisinya untuk sujud kembali. "Eits, cukup. Sudah giliranmu. Jangan mengelak ya kau," cegah Lawang.

"Sekarang jawab aku. Apa dosamu?"

Mbideg memandang ke kiri ke kanan, "Loh, mana orang - orang tadi. Kog masuk neraka? Padahal sudah ampun - ampun gitu".

"He! Dengar!"

Mbideg yang melihat gelagat murka Lawang segera mengambil posisi mohon pengampunan.

"Ladahah, sudah. Jawab saja" cegah Lawang. Mbideg melayangkan senyumnya pada Lawang. Ia melambaikan tangannya dan mencoba berjabat. Lawang yang ling lung dengan gelagat Mbideg membalas jabat tangan.

"Kok malah jabat tangan. Ayo jawab!" bentak Lawang. Mbideg kembali mencari posisi mohon ampun. Lawang mencegahnya lagi.

Merasa tidak tahu harus berbuat apa, Lawang berdiam diri. Berdiskusi dengan Penciptanya tentang cara berhadapan dengan Mbideg. Dalam waktu yang lama, Lawang baru mendapat jawabannya. Sekembalinya, ia mendapati Mbideg bersujud mohon ampun.

"Sudah cukup. Kau tulus, jujur, dan hobi memohon maaf. Silahkan lanjut berjalan. Surga menunggumu"

Lawang membuka dirinya. Tangga berwarna putih dengan permadani menyambut Mbideg. Cahaya surga cerah sekali, tetapi tidak menyilaukan, melainkan menentramkan. Ia berjalab menaiki tangga tersebut. Bau - bau harum yang tidak pernah ada di dunia menyerbak ke dalam hidungnya. Nyanyian - nyanyian surgawi berkumandang merdu.

Mbideg menaiki tangga sembari senyum - senyum sendiri. Tatkala pintu lain menyambut di puncaknya, seorang bidadari datang menyambut. "Selamat datang di surga. Semoga perjalanan anda menyenangkan. Mari saya antar." Mbideg mengikuti pelan di belakang bidadari itu.

"Tuan, sudah lama sekali ujian Lawang digelar. Ini pertama kalinya seseorang lulus dan disambut surga. Jika boleh saya tahu, apa rahasia tuan?"

"Ha? Apa?"

"Maaf tuan, saya bertanya apa rahasia tuan dapat melewati ujian Lawang" ujar bidadari itu cukup dekat di telinga Mbideg.

"Apa kamu bilang? Kamu lagi ngomong sama aku?"

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang