Ratnawati, cinta pertamaku, duka akhirku. Kau sadar bahwa aku adalah seorang pencinta. Dari setumpuk pria di dalam pabrik, kau menghampiriku. Aku pastikan tak salah pilihanmu, karena ku tahu cintaku juga untukmu.
Bagaimana caraku menemukanmu di antara perempuan berkucir kuda berbau keringat? Cukup mudah, wajah bertahi lalat di pelipis kanan, milikmu satun - satunya. Gelagatmu yang terlalu sopan sangat mencolok di antara para pekerja. Pun senyummu itu terlalu ikhlas untuk seorang buruh.
Ah, dewi pujanggaku, ku kirimkan surat cinta padamu. Pada pagi hari sebelum jam kerja berdentang agar kau terus tersipu. Pada siang hari saat makanan dijamu agar kau malu – malu saat menyuapkan nasi bungkus itu. Pada malam hari ketika semua semrawut bubar dari dalam pabrik biar tidurmu tak tenang memikirkanku.
Tidak, aku tidak perlu balasan. Aku hanya perlu kamu ada di sisiku. Nantinya membangun rumah tangga dan membuat anak. Cukup kuat untuk menjadi landasan hidup sampai kita mati bukan? Aku harap kau setuju.
"Iya, aku mau. Bawa aku ke pelaminan. Jadikan aku milikmu," jawabmu. Gemuruh langsung datang dari kerumunuan Aku tidak fokus, apa yang kau katakan? Benarkah itu? Kalau begitu mari kita hidup bersama. Kau akan hidup untukku, begitupun aku.
Ku lihat gerai rambutmu tanpa kucir untuk pertama kali. Cantik sekali rambutmu. Seperti oli tumpah di lautan, anyir baunya namun indah berbaur dengan lautan. "Pelan, saja ya mas. Ini pertama kalinya buat aku," keluhnya sembari menutup gundukan dada itu. Pertama kalinya buatku juga sayang, sudah kukatakan bukan sebelumnya?
Sejujurnya ini menyakitkan. Aku hanya bisa melihatnya meringis, entah nikmat atau perih, tanpa sekalipun bisa menariknya. Karena aku sendiri lenyap pada kelihaiannya dalam mengalirkan nafsu. Tenggelam aku dibuatnya, inginku terus dengannya.
Jabang bayi pun keluar dari hasil kerja keras kami tiap malam. Aku masih ingat erangan demi erangan di atas kasur kala itu. Harapku malam tetap sama walaupun ada dirinya, Aji Kusuma.
"Apa sudah tidak ada uang lagi? Kasihan Aji, dia tampak lusuh," keluhnya. Aku mengerti sayang, tetapi apa yang bisa dilakukan buruh ini hanya bekerja keras. Pendapatanku sudah dipatok sekeras batu untuk tetap seperti adanya. Maafkan aku sayang.
"Ah, kalau begitu aku akan belajar menenun saja. Ibu di rumah punya alat tenun yang sudah turun temurun. Bisa jadi penghasilan tambahan bukan? Toh, hasil dari pabrik tidak cukup sekarang. Kau tak apa kan sayang?"
Kata "sayang" terakhir yang terucap dari bibis jarang lipstiknya. Ia menjadi jarang sekali di rumah. Tidak ada cumbu lagi semenjak itu. Ambisinya begitu besar hingga menyulap ruang gudang menjadi ruang tenun. Bahkan lebih lagi, ia menyatu dengan tenunan.
Hari berganti minggu, minggu disambut oleh bulan, dan aku hanya bercinta dengan bayang Ratnawati. Tidak ada kenikmatan tiap malam. Bagaimana aku bisa menikmati nafsu jika hanya sendirian? Apa aku harus mencari wanita lain demi kepuasanku? Mati saja aku sekalian!
"Ayah, ibu sedang apa? Daritadi kog nggak mau main sama Aji, Aji kan ingin main sama ibu juga," gerutu Aji. Aku tahu nak, ayahmu ini juga ingin bermain dengan ibumu. Bukan hanya itu, aku ingin berkecup lagi dengan Ratnawati. Mengertilah, nak!
"Sini main sama ayahmu saja ya," jawabku padanya menghiraukan pikiranku.
Tidak hanya Ratnawati, pabrik pun melukai. Mesin menginvasi, digusurnya kami dari ranah. Kami diurutkan, dipilah, lalu dibuang. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh bawahan seperti buruh ini, hanya menunggu. Aku akan terbuang dan dimatikan barang ciptaan manusia. Sungguh biadab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita untuk Mereka yang Ditinggalkan
Short StoryMalam ini aku percaya, di luar sana pasti ada jiwa-jiwa lara yang ditinggalkan kesayangan mereka. Dimulai dari bintang utara meredup saat aku memanjatkan doa, meskipun aku sendiri tak percaya pada doa. "Tuhan, berikan mereka kekuatan untuk sekedar h...