Penulis yang Hampir Mati

19 4 0
                                    

Kata demi kata menata untaian kalimat. Dari untaian itu dirajut paragraf apik untuk dikenakan prosa. Setiap detailnya indah melengkapi sunyi kertas putih yang terus dibalik. Mereka berteman satu sama lain, saling bekerja sama memecah bisingnya pikiran. Menjadi bukti betapa kesepian sang penulis, temanku.

Ia pernah meminta, "Bisakah kau memotret diriku?". Aku spontan memotretnya. Menangkap uraian rambutnya yang tidak tertata rapi. Diperparah dengan angin kencang musim dingin, senyum muncul dari balik helai - helai yang tampak ingin berterbangan. Latar belakang lanskap banngunan tua eropa. Gambar hasil dari semua adalah sunyi klasik eropa di tanah Jawa.

"Baik tuan, aku sudah cukup mendengar sastra dari tulisannya. Aku ingin segera mendengar bagaimana sosok aslinya. Sosok penulis di dalam mahakarya yang melejit ini. Tolong, katakan sejujur - jujurnya," paksa jurnalis di depanku.

Sejauh ini para pembaca pasti mengerti siapa dia. Gelagat dalam bernafas sampai keramaian dalam otaknya. Penerkaan seluruh detail hidup kawanku dapat ditemukan dalam tiap tulisannya. Asal jangan terlalu tenggelam, karena dia memperingatiku agar tidak menjadikan dirinya sebagai diriku.

Cukup baca sekilas dan kau akan memahami kawanku. Tidak sulit menggambarkan bagaimana orangnya. Bacalah dia melalui tulisannya tentang banyak kisah dengan selalu fokus pada satu tema, kemuraman. Tokoh utama kesepian berlatarbelakang tragedi. Ombak dahsyat trauma yang terus menggulung kisahnya. Dialah sahabatku, seorang penulis perindu pangkuan kasih sayang.

"Tidak ada yang spesial dari kehidupan sehari - harinya. Ia hanya sering berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Minuman favoritnya kopi tanpa gula. Aku pernah bertanya tentang minuman pahit itu. Jawabnya singkat, karena pahitnya kopi tidak mengalahkan pahit diriku sehingga aku bisa menang. Menandakan kesombongan manis dibalik masam masa lalunya," jawabku selanjutnya.

Fakta sebenarnya, ia tidak pernah menganggapku sebagai teman ataupun keluarga. Aku mengikuti pengertian darinya dalam dua sebutan tersebut. Teman merupakan bertemunya manusia tanpa sengaja atau tidak lalu saling menghubungkan keterikatan akan moral. Aku tidak memiliki keterikatan akan moral. Bisa saja kutinggalkan dia mati sendirian terkubur oleh huruf - huruf dari pikirannya. Sama halnya dengan keluarga, ikatan takdir pada asing yang mewajibkan kita taat pada hal tersebut. Ia tidak pernah taat pada asing sepertiku. Takdir bahkan malas mengikat sehingga sering memisahkan kami.

Belakangan ini banyak orang berduyun - duyun menyerbuku. Mereka mengharapkan kisah menjual dari si penulis kesepian, adik tanpa darahku. Aku selalu menutup semua pertanyaan dengan satu kalimat, "Maaf saya bukan kerabat atau koleganya". Kemudian luntur semua harapan penjualan rating tinggi bersamaan dengan dandanannya.

Suatu pagi, di saat aku masih memuja diriku dalam mimpi, seseorang mengetuk pintu. Aku jelas mengutuk, sama halnya di pagi - pagi lain. Bedanya orang ini tidak berteriak layaknya orang - orang bernafsu sebelumnya. Ia terdiam lama sekali setelah ketukan pintu yang membangunkanku. Sepertinya etika mengikat kencang tiap anggota gerak.

Aku sengaja memperlambat responku atas aksi tadi. Berharap manusia dengan pertanyaan - pertanyaan terkutuk menghilang dari hidupku sekarang. Belum sempat aku bersyukur karena tidak ada gelombang kedua, lima ketukan menghamtam lembut pintu depan. Kaki ku paksakan mengarah dengan keluhan di otakku yang terus bersahutan.

Di sinilah si Pengetuk Pintu sekarang. Menggebu pertanyaan padaku tentang penulis bernama Agas Wijaya dengan novel serta cerpen karyanya yang terus melangit. Tangan dan jemari sering gemetar sebelum aku menjawab. Aku jadi penasaran bagaimana orang ini menikmati rasa - rasa dunia dengan kegugupannya itu. Seorang jurnalis tidak boleh gugup. Ritme ini terus bersenandung di seantero jagat, tetapi di depanku ada yang mematahkannya.

"Ia bisa dikatakan sebagai melankolis pesimis. Sering sekali aku lihat dia bersenandung sendiri da untuk dirinya sendiri. Sedang ketika tulisannya dibawa ke editor, ia hanya akan menganggung dengan muka bodoh menahan tangis. Tidak jarang juga ketika membeli makanan di warung, sendok yang telah ia gunakan dilap lagi dengan tisu sampai bersih. Aku pernah sesekali memergokinya memberikan makanan ringan kepada anak di pinggir jalan. Ketika ditanya soal itu jawabnya hanya dengan senyuman. Bayangnya aku tahu persis bahwa dia sedang memberikan kepada dirinya sendiri yang masih kecil. Dirinya yang masih kecil dulu tidak pernah merasakan diberi makanan ringan bahkan oleh orang tuanya. Padahal itu adalah haknya bukan sebagai anak? Sungguh terkutuk orang - orang di masa lalunya. Tetapi lucu, aku tidak pernah melihat dia sekalipun membahas kelamnya masa lalu dia," terangku dengan terkekeh.

Aku beranjak dari tempat duduk. Menghembuskan nafas panjang seakan tidak akan hidup lagi. Memejamkan mata dan berkata pada sosok di hadapanku, "Mari menuju peristirahatan keluargaku. Aku yakin dirinya pasti lelah setelah kita gunjing sedari tadi". Kami berjalan melewati lorong rumah menuju pintu belakang. Setiap langkah mengingatkanku untuk tetap tenang. Berjalan seperti dirinya yang tergerogoti oleh penyakit. Tetapi dia hanya menulis tanpa henti.

Bau dari kayu di dinding rumah menyeruak. Memaksaku berhenti mengikuti jejakmu yang kaku. Diselimuti kalbu berisi sunyi dan sepi, kau tetap melangkah dalam hidup. Diterpa hantaman dari cobaan pun kau tetap perkasa bersama jubah tragedimu. Kelam memang, tetapi sangat puitis jika dibacakan.

Lututku lemas dilanda kecemasan yang mendadak datang. Air mata berlinang deras tak terbendung bahkan oleh telapakku. Aku khawatir dia tetap kesepian dalam liangnya. Menjauhi kebodohan meskipun ia tahu muslihat kebenaran dibaliknya. Akhirat tidak seramah kefanaan bukan? Dia pasti dikucilkan lagi walaupun sudah berada di dunia lain.

"Tuan, apa engkau baik - baik saja? Mengapa dirimu merengek ketakutan? Kita hanya akan mengunjungi makamnya, bukan untuk menghakimi dia".

"Aku tidak menghadap dia. Sepengertianku jiwanya telah menuju ke sana dan raganya bersemayam di bawah tanah. Tetapi tidak dengan kesendiriannya yang tertinggal di sudut - sudut ruangan. Dia layaknya ciu, menenangkan sebagian dariku, pun menggilakan sebagian yang lain. Bagaimana dia tetap tenang tanpa kasih sayang orang tua? Bagaimana dia tetap muncul di permukaan setelah dikucilkan lingkungannya? Bagaimana individunya dapat mencapai tiap hati? Aku kasihan, tetapi ia menolak. Aku merawat, tetapi ia tangguh. Aku menemani, tapi ia mesra dengan dirinya sendiri," ungkapku dalam simpuh.

Insan yang tadi di belakangku melesak ke depan. Tanpa basa - basi dibukanya pintu tepat beberapa sentimeter di hadapan. Sebuah nisan menjadi tokoh utama dalam lanskap yang terbuka setelah tirai diangkat. Kawanku, si penulis kesunyian, terlihat duduk di atas gunduk tanah mengacuhkanku. Insan pembuka tirai menuju dirinya, mengusap insan sembari berkata, "Aku akan mengenalkan kesepianmu, bukan ketenaranmu. Mengungkap batasan kesunyianmu dalam bait teras artikel. Janjiku, tidak akan setitik hati dari pembaca mengerti kebahagianmu". Sayup lemah nada itu terucap, tetapi cukup keras menyirnakan keacuhan dari kawanku.

Istirahatlah kau penyendiri kesayanganku. Sampai hari ini kesendirianmu tetap kokoh memenuhi udara. Persiapanmu akan pesta di masa depan terwujud. Mari kita bersulang dengan arak favoritmu. Kita rayakan disambutnya dirimu oleh dunia melalui sastra.

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang