Namaku Fiersa, dan ini adalah catatanku untuk lembaga yang memuakkan.
Salah besar jika kamu mengira ini adalah sebuah cerita pendek berbentuk memoar normatif. Karena aku menulis ini bukan untuk hiburanmu belaka. Melainkan, pelampiasanku atas kemuakan.
Aku adalah anak buruh negara kontrak (honorer, red.) yang berpasangan dengan buruh tani. Sejalan, akhirnya aku terdidik untuk bekerja setelah lulus dari sekolah menengah. Namun, masa muda merengkuh pikiranku. Hasratku naik ketika mendengar pergerakan dan melimpahnya ilmu di perkuliahan.
Demi menuruti hasratku, ku tinggalkan pekerjaan tani di rumah dan menghiraukan dawuh orangtua. Seakan tidak ada yang dapat membendung derasnya, aku mencari universitas-universitas dengan kalap. Hanya untuk menuju gerbang kemuakan yang akan dimulai nantinya.
Singkatnya semua lancar, meskipun harus memecah lima celengan ayam yang penuh dengan kumpulan uang selama lima tahun. Habis hanya dalam lima hari untuk membayar mulut-mulut lapar administrasi. Yah, apapun demi masuk gerbang universitas secara mulus melalui mandat undang-undang.
Saat pertama kali masuk dan astaga, "kenapa mereka hobi menghabiskan uang?" Baru saja basa-basi dengan para asing serta asing-yang-ingin-dihormati, mereka sudah mengumumkan barang wajib bawa. Jumlahnya ada dua puluh dengan perkiraan habis dua puluh kali sepuluh ribu yaitu dua ratus ribu. Picik, itu sama dengan bayaranku sebulan di ladang.
Setiba di kos, aku duduk lemas bagaikan seorang filsuf yang putus cinta. Pertanyaanku terus melayang saat asing-yang-ingin-dihormati ternyata adalah manusia-manusia yang dianggap temanku hebat. Aku percaya temanku tak bodoh, mungkin ia hanya dihinggapi ketidabecusan dalam berpikir saja. Namun, tetap saja adalah bodoh ketika masuk di perkuliahan dengan harapan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Hari-hari ospek terlewati dengan tidak baik-baik saja. Karena, coba saja bayangkan dalam tiga hari aku sudah menghabiskan total tiga ratus ribu lebih. Iya! Melebihi perhitungan awal. Bahkan aku harus mengais pada beberapa teman untuk menutupi defisit. Dan dari semua itu, aku melihat para senior malah tertawa. Pun, dibalik itu aku melihat lembaga hanya diam saja seakan kalah dengan suara. Picik!
Langkahku sempoyongan sembari menunggu hari perkuliahan tiba. Baru akan menginjak kelas, aku seperti sudah dipukuli selama dua ronde dan KO saat itu juga. Sejujurnya berapa banyak peser lagi yang harus keluar, sedang ini masih awal bulan. Oh Tuhan!
Aku duduk di gazebo depan fakultas, memainkan gawai yang tersambung di salah satu koneksi entah milik siapa. Dalam benakku terbesit, "Ah, esok mungkin uang bidikmisi sudah cair." Ya, hanya itu yang terbesit di antara sekian banyak kemungkinan. Karena, memang satu-satunya penopang hidup mahasiswa baru dengan sumber keuangan sangat terbatas hanyalah bidikmisi.
Belum sempat benakku melayang lebih tinggi, belum lima belas menit gim yang kumainkan terbuka, salah satu notifikasi media sosial terbuka:
Bagi mahasiswa bidikmisi angkatan 2018 diharapkan untuk berkumpul di Gedung Serba Guna pukul 15.00 untuk keperluan pencairan.
Tanpa babibu lagi, aku langsung menuju sepeda motor dan menggebernya. Melesat keluar kampus, masuk ke pintu kos, dan mengambil peralatan mandi. Di dalam kamar mandi anganku mengambang bahagia, membayangkan semelimpah apa nantinya diriku, lalu kunyanyikan sepenggal lirik Penguasa, Penguasa, berilah hambamu uang, beri hamba uang.
Menunggu, menunggu, dan menunggu. Ah, tiga jam menunggu di dalam kamar kos sangatlah menyiksa. Sama halnya saat menunggu musim panen, menyakitkan namun membuahkan bungah. Tak sabar, tak sabar, dan tak sabar.
Pukul 14.45 tiba, aku langsung menggeber kembali ke kampus. Menuju Gedung Serba Guna, gedung dengan peruntukan konser, event, sepak bola, voli, basket, dan masih banyak lagi, mungkin karena itu disebut serba guna. Gedung dengan kapasitas kurang lebih seribu kepala ini langsung penuh. Wajar! Kami haus akan peser uang setelah diperas habis saat ospek!
Tiga puluh menit, menuju satu jam, lebih dari itu, dan kami semua masih berjubel sembari mengeluh sampai berapa lama lagi harus menunggu. Beberapa anak sudah mulai bermandikan keringat, namun tak mau meninggalkan tempat sejengkalpun. Sampai akhirnya yang ditunggu tiba.
Bapak itu mengenakan jas hitam dengan paduan celana kain bergaris tipis. Rambutnya kelimis dan kumisnya tipis. Aku tak tahu seberapa banyak minyak wangi yang disemprotkannya, namun membuat oksigen disekitarnya terus menipis.
Salam, dibarengi senyuman, lalu basa-basi. Astaga! Apa beliau tak tahu kami menunggu selama satu jam lebih bukan untuk mendengarnya berbicara secara normatif? Tanpa minta maaf pula? Oke, semua demi pencairan.
Di atas podium setelah lima belas menit berbicara, beliau terdiam. Raut yang sedari tadi bahagia sirna entah ke mana dan diganti mendung muram. Aku hanya berpikir, mungkin saja ia tidak bisa menahan kentut? Atau pegal melihat anak-anak di depannya tidak ada yang mendengarkan? Atau malah sudah tak tahu lagi harus berbicara apa? Namun perkiraanku salah. Dengan nada sedikit merendah beliau membuka mulut:
Mohon maaf untuk saudara/saudari sekalian. Saya di sini memberitahukan bahwa bidikmisi akan dicairkan setelah dua bulan proses terhitung hari ini dikarenakan adanya beberapa masalah teknis. Saya pribadi mewakili teman-teman yang sedang bekerja, memohon maaf sebesar-besarnya serta mengharapkan kesabaran lebih dari kalian.
Cukup sudah, lembaga ini terbukti memuakkan!

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita untuk Mereka yang Ditinggalkan
Short StoryMalam ini aku percaya, di luar sana pasti ada jiwa-jiwa lara yang ditinggalkan kesayangan mereka. Dimulai dari bintang utara meredup saat aku memanjatkan doa, meskipun aku sendiri tak percaya pada doa. "Tuhan, berikan mereka kekuatan untuk sekedar h...