Keluarga yang Dicabut Kehidupannya : Catatan Bukti Hidup Anaknya

23 4 0
                                    

Dilihat dari manapun, dulunya aku berharap tetap menjadi kayu. Karena begitulah hidup paling menakjubkan, jauh dari manusia. Tetapi sudah terkata lain dan serbuk – serbukku telah terkumpul menjadi tumpukan kertas yang disatukan. Mangkrak di salah satu sudut rak toko buku. Dengan terus menghadap kepada orang – orang aku mengerti satu hal, manusia itu terlihat bodoh saat membicarakan satu sama lain.

Setelah sekian lama peratapanku di antara buku – buku yang lain, salah satu dari mereka mengambilku. "Yah, aku ambil ini saja. Coraknya bagus, berwarna cokelat kesukaan ibu," ujar anak kecil itu pada sang ayah. Tampaknya dia hanya melaksanakan tugas sebagai anak baik. Walaupun dari matanya yang sayu itu menyimpan amarah lain entah soal apa.

Sesegera mungkin dirinya menentengku menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan ia menyanyikan beberapa lagu dengan sedikit menggoyangkan tangannya. Kadang juga dirinya melihat ke sang ayah dan melempar senyuman. Lalu aku hanya terdesak di antara himpitan peralatan tulis menulisnya yang lain.

Belum lama mendudukkan diri ke sebuah meja belajar, ia langsung membuka lembar – lembarku. Kali ini pakaian yang dikenakannya berbeda saat di luar. Aku baru sadar jika pakaian anak ini terlihat sangat bagus. Coraknya cukup mengesankan untuk pakaian – pakaian yang biasa aku lihat. Belum lagi kainnya tampak mulus, tanpa benang yang mencuat ke sana ke mari. Padahal jika dilihat, dirinya mengambilku yang-paling-murah dari seantero buku. Namun lihat, anggun sekali pakaian yang dikenakannya. Ia tampak sangat berkelas di dalam maupun luar rumah.

Heh? Batinku penasaran. Ia mulai menulis dalam lembarku. Aku kira hanya curhatan anak – anak seperti mainan yang diambil oleh teman, hari menyebalkan karena uang jajan habis lebih cepat, atau dimarahi oleh ibu setelah menerima nilai rapor. Ternyata bukanlah seperti perkiraanku itu.

Selasa,

Hari ini benar – benar hebat. Aku lolos dari mereka lagi. Harapan ke depan tidak bertemu dengan mereka, semoga. Juga, semoga ibu mau bermain besok.

Mereka? Apa kau itu seorang penjahat, nak? Ibumu hanya sibuk, ayolah kau si kecil pasti nakal juga, bantahku pada coretannya. Hampir saja aku jadi makhluk bersuara dan berbahasa. Andai saja aku punya tangan, pasti kuelus kepalanya dengan sesekali mendorongnya. Mungkin beberapa bautnya bisa kembali normal agar menjadi sama seperti anak – anak yang lain.

Ia kini terlelap. Anak kecil tetaplah anak kecil, bajunya tersingkap di beberapa bagian tubuhnya. Tangannya menengadah ke atas. Gelagatnya selalu berganti, membuat kain yang menutup kasur menjadi kalang kabut. Pandanganku terarah fokus seketika saat rembulan menyinari tidur anak itu. Ah, ada beberapa legam dan bekas luka dari balik bajunya.

Rabu,

Tidak beruntung. Aku diantar oleh ibu guru, ia tahu aku bonyok. Untung saja aku berhasil meyakinnya bahwa aku hanya jatuh terserempet sepeda, lalu terperosok ke lumpur jalan. Tidak terbayangkan jika ibu guru bertemu ibu, mungkin ia akan sama dengan mereka.

Aku pikir ia tertidur sesaat setelah drama dengan ayahnya. Ia malah bangun, lalu menulis kembali ke dalam lembarku. Semakin baik kali ini, bahkan diksinya juga berkembang. Mungkin saja nantinya ia akan menjadi penulis terkenal. Nilai plus untukmu, tetapi minus pada berantakannya dirimu kali ini.

Waktu berlalu, banyak sekali tulisan – tulisan anak itu. Sekarang sudah separuh dariku yang terpakai. Baru kali ini aku lebih dekat dengan manusia dan cukup menyukainya. Mereka ternyata bukan hanya makhluk penuh omong kosong, tetapi juga konkret dengan usaha seperti anak ini pada perhatian ibunya.

Kulihat dirinya tumbuh, walaupun sama saja yaitu tetap teguh dengan usahanya meraih perhatian ibunya. Sekalipun ia kolot dan semakin buruk dalam berujar, dirinya tetap anak-tanpa-ibu. Kata yang sering tertulis, diucapkan oleh "mereka" sebagai alasan untuk menginjaknya tiap bertemu.

"Bangsat! Ibu macam apa yang tidak mau bermain dengan anaknya!" Teriakan Aji memecah malam. Aku yakin, emosinya yang menumpuk keluar seluruhnya kali ini. Tidak ada yang berbeda darinya, sama seperti yang aku pikirkan ia masih terbilang anak – anak.

29 Oktober 2007

Selamat ulang tahun untuk diriku. Si tua penggila tenun masih saja tidak mengucapkan sesuatu padaku. Kerjannya hanya menggantungkan pakaian baru di lemari. Apa ia pikir aku ini semacam model uji coba pakaiannya? Bahkan saat teman – teman kemari, ia masih di sana. Tidak menyuguhkan sesuatu, atau setidaknya menyapa. Sungguh aku tidak tahu jalan pikirannya. Aku anaknya bukan?

Tulisan terakhir di lembarku terbuka. Tangannya berhenti sesaat ketika usai mengemas beberapa pakaian ke dalam tasnya. Terpaku dalam lembar itu, ia menunduk dan meremasnya."Apa yang harus aku lakukan? Kenapa ibu selalu seperti ini" rengeknya padaku.

Hari berlalu semenjak kepergian anak itu. Rumah terasa sangat sepi. Biasanya anak itu berisik dengan segala aktivitasnya. Aku bahkan hanya mendengar derit dari alat tenun. Tidak adakah pekerjaan lain dari ibunya? Aku bahkan tidak sekalipun melihatnya keluar dari rumah. Pun dirinya keluar dari ruang tenun hanya sekedar ke kamar mandi. Kapan dia makan dan tidur? Pikirku.

Aji telah kembali dari pelarian panjangnya. Tidak banyak yang terucap. Ia ke mengemas pakaian yang lebih banyak, sampai – sampai menyembul dari tasnya. Lalu membuang buku pelajarannya, mainan – mainannya, dan aku.

Ia sempat terdiam beberapa saat. Duduk sembari membolak – balikkan lembarku. "Ah, ini saat aku pertama kali dikunjungi teman. Lucu sekali, setelah itu ia terus datang ke mari karena paling dekat dengan sekolah. Yah, saat itu membolos adalah hal asyik," kekehnya. "Ini saat pertama kali ayah memberiku telepon genggam bukan? Bahkan aku menyimpan fotonya. Tetapi bagaimana bisa ya ayah memberiku telepon genggam, padahal ia tidak bekerja," timpalnya lagi. Ia kembali membalikkan halaman pertama dan terus berlanjut membaca. Air mata menetes. "Kenapa kau tidak memberiku kenangan, bu"

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang