Selamat Tinggal : Terperangkap

15 2 0
                                    


Lanskap di depanku penuh dengan anak - anak yang tersenyum mengikuti gelagatku. Bibir tersungging dihiasi kibasan rambut berhantaman satu sama lain. Tak jarang juga rembulan menyiram kepolosan bertajuk kegembiraan. Remang lampu di area pertunjukkan membuat keerotisan tiap lekuk tubuh meningkat. Diselingi gelegar tawa lepas, disambut oleh spontan akibat menerka kekonyolanku.

Persembahanku melalui drama yang sama sekali tidak aku atur. Bertingkah dengan persendianku tanpa perintah dari otak, itupun jika aku memiliki otak. Aku hanya mengikuti perintah dari tali kendur - kencang merangkai gerakan penghibur. Bahkan pengucapku tak berfungsi sebagai indera tambahan.

Gelap selalu muncul seusai pertunjukkan. Keriangan yang mengisi relung udara meredup secara perlahan. Tirai dari kotak kecil panggung kebanggaanku ditutup rapat. Pun aku dipindah ke dalam kotak lain dengan sisi lebih rapat. Menjaga sela - sela di tubuhku agar tidak didiami oleh karat.

Dari kotak ini aku melihat langit melalui lubang kecil, robek akibat Tuan Hazzle terburu - buru mengambilku, menghitung banyaknya bintang sembari membayangkan dinginnya malam. Menghabiskan waktu hingga Tuan Hazzle kembali membuatku menari. Belum sejenak hitungan keduapuluh menyambut, bergulung awan hitam cepat menutup langit. "Celakalah bagi jiwa yang terperangkap pada gelap sepertiku ini," keluhku.

Air mulai berjatuhan dari mendung. Ia semakin lebat, menutup pandanganku yang tertuju pada pepohonan di seberang. Deras memuncak, menutup suara - suara lain. Inderaku hilang tertelan oleh hujan. "Sepertinya Tuhan memang sedang mempermainkan sepi yang kesehariannya menemaniku," kutukku.

Tuan Hazzle terlihat sibuk memasukkan beberapa barang menuju tenda. Tidak jarang ia melempar umpatan sembari badan kecilnya terpukul hujan. Tubuhnya terombang ambing angin seperti kapal layar di tengah samudera. Saat salah satu kotak besar diangkat, kakinya bergetar hebat. Ambruk dirinya padahal belum sekali kaki menjangkah. Memuntahkan pelumas, buku - buku porno, dan alat - alat kontrasepsi lain Jika aku memiliki anugerah untuk tertawa, niscaya akan kuganti dengan kekuatan untuk sekedar mengangkat tubuh kecilnya.

Hiburan kecil bagiku adalah melihat Tuan Hazzle menghitung uang. Dari koin hingga kertas tak akan luput dari pandangannya. Kali ini beberapa helai uang kertas basah. Ia tampaknya iri pada koin yang tetap kokoh sebasah apapun dirinya. Atau Tuan Hazzle saat 'basah' masih kokoh mengerang.

"Tidak sebanyak kemarin, sepertinya menyusut dari hari ke hari. Wajar bagi mainan tua yang sudah tergiling oleh mekanik - mekanik otomatis berisik. Semoga keberuntungan membasahimu besok, Razor," ucap Tuan Hazzle dengan tangannya mengelusku.

Baru kali ini kulihat Tuan Hazzle mengelusku dibarengi mata sayu berair. Aku tidak melihat dirinya seperti sebelumnya. Dirinya yang selalu melompat ke kursi kayu sambil membanting kotak uang. Menghitung beringas tiap lembar, keping, sampai debu dari dalam kotak. Melompat keluar dari kursi, lalu menari ke sana kemari setelah hitungan dirasa dapat membah lebar perutnya.

Sekarang bantingan kotak uang tidak terdengar. Digantikan percikan air yang jatuh ke tanah berulang kali. Beringasnya hilang ditelan cumbu dari ujung bibir terlipat. Diikuti oleh kepalan tangan memukul pelipis berulang kali. Terhenti sejenak untuk membuka penglihatan kosong pada rintik hujan.

Balon ditiup pelan - pelan. Satu per satu diuntai pada tali panjang berwarna putih. "Untukmu anakku, semoga dapat mengundang simpatisan kelahiran dirimu," ujarnya sembari mengusapku lagi. Balon yang dipegangnya lepas, kabur dari mulut besarnya. Terbang menuju lebatnya hujan dan tenggelam ke dalamnya.

Ah, aku ingat kenapa orang - orang menggumul di sekitar papan besar warna - warni tadi. Terlihat dari sebelum mulainya pertunjukkan sampai hilangnya cahaya lampu di lapangan, papan tersebut bertaburkan wajah yang sekedar lalu lalang atau menyapanya. Mereka mengumbar empati pada Tuan Hazzle untuk usahanya memeriahkan hari esok. Demi aku, anak yamg tidak akan pernah mandiri.

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang