Hari ini mata kuliah Apresiasi Seni dan Ilmu Pengetahuan akan dimulai. Mata Kuliah pagi yang selalu selesai lebih awal dari jadwal seharusnya. Dosen pengampu yang tak kalah nyeleneh dari nama mata kuliahnya.
Masih teringat ketika semester tiga di Fakultas Pertanian menjelang dan aku melihat salah satu mata kuliah yang terdengar lucu. Aku pikir nantinya di kelas akan dilakukan studi dan pembahasan pada seni yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Lalu, dari pembahasan tersebut dikeluarkan sebuah apresiasi melalui laporan maupun esai.
Tetapi, pikiranku ternyata salah. Bapak Karsa, dosen pengampu mata kuliah ini, membuka kelas dengan kata yang akhirnya menjadi ikonik, "Saya lebih suka dengan mahasiswa yang berbicara ketimbang diam." Disusul dengan satu kelas yang terdiam dan saling melirik. Beliau malah tersenyum sinis dan menimpali sikap heran mahasiswa-mahasiswa di depannya, "Kalian akan mempertanggungjawabkan apa yang selama ini kalian pelajari."
Bapak Karsa dengan lugas menerangkan ke seisi kelas di awal pertemuannya itu. Beliau dengan tegas berkata bahwa kami, mahasiswa yang berada di kelasnya, tidak beruntung karena mendapat dosen pengampu dirinya. Beliau tidak akan mengadakan kuis maupun tugas khusus yang pada dasarnya dapat menolong nilai. Hanya ada satu aktivitas selama perkuliahan ini berjalan satu semester, yaitu mengajar.
Mahasiswa akan dipilih secara acak dan tema yang keluar dari benak Bapak Karsa saat itu juga. Proses mengajar dibebeaskan menggunakan metode apa saja tanpa ada batasan. Lalu, Bapak Karsa sebagai penilai akan langsung memberi nilai saat itu juga.
Hari ini sudah pertemuan kelima, sudah ada lima mahasiswa yang ditanyakan mendapat nilai D, sudah habis pula semua keringat selama musim panas hanya untuk satu mata kuliah di tiap minggunya. Satu kelas, termasuk Fiersa yang apatis juga ikut merasakan tekanan dari Bapak Karsa. Belum lagi Surti, mahasiswa setengah sosialita, sangat berkurang waktunya untuk menuruti mata kuliah ini.
"Hari ini saya hanya menuntut satu hal."
Sontak kami terpaku pada sosoknya yang seperti goblin itu.
"Tidak akan ada materi seperti 'Ketuhanan', 'Keadilan', 'Komunikasi', dan 'Moral dan Etika' seperti sebelumnya," sembari tersenyum kecut.
Lima helaan nafas lega keluar, sepuluh senyum liar mengambang, dan dua puluh lima lainnya tersandar lemas. Dan belum puas dengan seluruh perasaan masing-masing, tiga nama dipanggil, "Rian, Bila, Aldo."
Ketiga nama tadi sontak berdiri, berjalan tegak lurus seperti tentara yang sedang latihan. Menuju ke depan dengan badan tegak lurus tak tergoyah. Meskipun keringat mereka deras, terutama hidung Bila yang deras layaknya air terjun.
"Kalian berceritalah sesuai imajinasi kalian masing-masing. Syaratnya hanya satu, menghibur."
Ketiga nama tadi sedikit lega, karena baru pertama kali ini beliau menepati kesantaiannya sendiri. Pun pertama kali topik yang dilempar tidak membuat otak harus bekerja memilih kata tepat agar tidak ditebas beliau.
Bila yang pertama kali maju. Ia bercerita tentang seorang perempuan yang tak pernah berhenti bekerja sela tiga puluh hari penuh. Ditambah ia adalah mahasiswa penerima beasiswa negara, namun tak pernah ada kejelasan pencairan dana bantuan. Belum menyelesaikan ceritanya, Bapak Karsa mengangkat tangan lalu melantang, "C."
Rian bergetar hebat setelah mendengar reaksi Bapak Karsa. Namun, dengan segala kejeniusan mengarangnya ia memulai cerita. Ceritanya tentang seorang mahasiswa penerima beasiswa negara yang bolak balik ke lembaga untuk mencari kejelasan pencairan dana. Namun, setelah tiga kali tandatangan dan lima kali dijawab "mohon bersabar", pencairan dana semakin tidak jelas. Bahkan terdengar rumor dualisme kepengurusan beasiswa tersebut. Usai menyelesaikan cerita, Bapak Karsa terdiam sebentar dan mengangat tangannya, "B-."
Rian mundur dengan senyum mengambang seakan ia menjadi peraih nilai terbaik dalam sesi kelas kali ini. Setiap mulut bergemuruh karena percaya satu hal, apa mungkin cerita Rian bersumber dari kenyataan? Sesaat ketika gemuruh mulai memuncak, Bapak Karsa mengangkat tangan, "Selanjutnya."
Aldo maju perlahan dan terdiam. Ia benar-benar terdiam sampai aku mengira bahwa mungkin ia mati berdiri. Karena aku tak melihat kembang-kempis dari perutnya, seakan ia tak bernafas untuk menyerap seluruh kegelisan kami. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, lalu gemuruh kembali memuncak termasuk Bapak Karsa yang memuncak pula.
"Hei! Ayo mulai!"
Aldo menjawab seluruh keluh dengan berjalan menuju ke sebelah bangku. Tangannya merogoh dompet ruangan dan mengeluarkan spidol. Kelas memang menjadi terdiam, tetapi pertanyaan semakin ramai di kepala masing-masing. Aldo menuliskan sesuatu di papan tulis:
"Maaf, sudah tiga bulan dana bantuan tidak cair. Saya lemas. Saya lapar."
Bapak Karsa kembali mengangkat tangan, "A."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita untuk Mereka yang Ditinggalkan
Short StoryMalam ini aku percaya, di luar sana pasti ada jiwa-jiwa lara yang ditinggalkan kesayangan mereka. Dimulai dari bintang utara meredup saat aku memanjatkan doa, meskipun aku sendiri tak percaya pada doa. "Tuhan, berikan mereka kekuatan untuk sekedar h...