Aku dan Laju Bus

33 4 0
                                    

Aku duduk di salah satu kursi bus. Di antara kursi yang berderet dengan formasi 3 – 2, aku memilih berada dekat dengan jendela sebelah kiri. Jendela itu selalu mendekatkan pandanganku pada lanskap.

Seperti halnya hari – hari busku yang lain, aku duduk dengan tangan menopang dagu. Aku tak ingin secuilpun lanskap lepas dari pandangan karena bus terpanting ke kanan dan ke kiri. Meskipun, lanskap itu selalu sama, silih berganti layaknya tayangan religi di minggu pagi.

Tak pernah ada yang mengusikku. Aku seperti seorang maha guru yang bertapa jika sudah menyentuh jendela sebelah kiri bus. Dingin suasana dari pengatur suhu sembarangan ataupun rengekan bayi dari sudut – sudut bus tak akan membuatku terkecoh. Karena mereka sementara dan lanskap itu kekal. Kecuali, lumpia di terminal yang selalu membuatku memandang keadaan penumpang bus lebih dalam.

Bus ini melaju kencang melewati kawasan pertokoan di pinggiran Nganjuk. Orang – orang pasti dapat mengenalnya langsung. Terlihat dari paparan tulisan di baleho toko, "Baron, Nganjuk", "Barong, Nganjuk", atau "Tanjunganom, Nganjuk". Belum lagi pedangang yang menjajakan lumpia dan tahu sumedang seharga lima ribu per tiga bungkus rasa khas Nganjuk.

Bus terus melaju, tak peduli berapa banyak rintangan yang menghalangi. Ia terus menghindar setiap ada kendaraan, keluar dari ruas jalan untuk menghindari kepadatan, lalu melompati tiap tikungan dengan gesit. Supir dari bus ini sepatutnya memiliki lisensi khusus untuk keahlian mengendarai kendaraan berbadan super seperti bus.

Pandanganku tetap tak teralih. Meskipun badan dan pantatku bergantian goyang, aku tetap berada pada konsentrasiku dengan lanskap. Sekalipun hanya pertokoan yang dindingnya tak tercat apik menjadi satu – satunya lanskap.

Pertokoan ini mengingatkanku pada tempat singgahku saat kecil dimana hanya ada buku sebagai hiburan. Salah satunya adalah toko buku milik Paman Hong. Paman berjenggot putih di kepala botak dan kacamata bulat tebal. Dari tokonya selalu terdapat hal baru. Mulai dari seorang anak kecil bermain detektif, pendekar buta sakti, sampai pemain bola dari pelosok. Semua itu seperti harta karun kecilku, meskipun aku harus membayar untuknya.

***

Pernah suatu ketika saat receh tak ada di saku celana. Aku merogoh celana bapak pun tak ada receh. Bahkan kantong ibu bolong. Padahal saat itu keluar sebuah terbitan baru yang kudengar cerita apik dan berada di pulau terpencil seberang sana.

Aku memuncak saat membaca salah satu majalah membuat ulasan dari ceritanya. Dengan inti anak yang tempat bermainnya tersekat, namun mereka tetap bermimpi dan berbahagia. Layaknya aku di tempat tinggalku kala itu, tanpa lapangan. Hanya gang sempit di antara pertokoan yang menjadi tempat bermain. Membuatku lebih memilih menghabiskan masa kecilku dengan membaca buku ketimbang berlarian dihimpit tembok.

***

"Dilihat dulu, mas,"

Seorang pedagang melempar dagangannya padaku. Aku tersenyum pahit sebelum ia berjalan kembali menyusuri deretan kursi belakang. Ia benar – benar ahli dalam mengganggu lamunan.

Sebuah paket alat tulis berada dipangkuanku. Aku tersenyum kembali, teringat bahwa pernah menjual barang – barang seperti ini saat kecil. Hanya untuk buku yang aku idamkan itu.

Aku mendapat barang – barang seperti ini dari bangku sekolah. Anak – anak orang kaya selalu tak acuh pada alat tulisnya. Bagi mereka barang itu tidak penting, bagiku alat tulis yang mereka buang adalah ladang uang.

Sebelum beranjak pulang, aku keliling ke dalam kelas – kelas. Mengecek setiap bangku dan laci. Mengambil segala alat tulis, entah masih penuh atau separuh pakai. Bukan mencuri namanya jika barang itu sudah ditinggalkan, bukan?

Cerita untuk Mereka yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang