Sebuah Usaha untuk Melupakannya

143 5 2
                                    

Perhatian ya, di sini diambil latar tempat yang sungguh ada (real) dan kalian bisa menjumpainya langsung. Tapi kisah yang dituliskan di sini fiksi belaka. Oke, selamat membaca. Salam Literasi!

     -----------------------------

Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing!!!

"Lu mau ke mana nih? Langsung Katedral?" tanya Adhara. "Mau ke kantin dulu. Abis itu ke Katedral. Lu juga lah. Misa juga masih lama. Makan dulu!" ujar Natanya. "Iya. Gw juga deh kantin."

***

Kantin siang itu cukup ramai. Sangat ramai malah. Siswi-siswi SMP dan SMA Santa Ursula banyak yang langsung makan di sini seusai sekolah.

"Nasi tutug lagi. Ga bosen apa, Ra?"

"Lah elu juga. Bakmi lagi kan? Eh Nat, udah move on belom?"

"Yaelah itu lagi. Gue juga udah mati rasa ama dia. Dexter aja udah punya yang baru kali!"

Mereka berdua tertawa. Namun dibalik tawanya sendiri, mata Natanya menerawang. Mengingat kembali memori-memori yang baru saja ingin ia lupakan selamanya.

"Happy Valentine's Day, Nat. Seneng ya, kita bareng-bareng tugas di jam yang sama. Coklatnya dimakan yah, ga usah diet. Kamu udah imut. I love you," bisik Dexter kepada kekasihnya itu. Natanya hanya bisa terdiam sambil tersenyum tanpa memedulikan teman-temannya yang lain yang berada bersamanya. "Hari ini ungu kan yah?" tanya Carollus, "oi ditanyain elah, Nat!" "Eh jangan sengaja dong. Lagi berbunga-bunga tuh si Natanya. Lu sendiri tau hari ini ungu, gimana sih?" ujar Adhara sambil tertawa. "Shhhhhh.... Sakristi elah!" seru Natanya dengan wajahnya yang sudah memerah.

"Woi! Gila lu ya senyum-senyum sendiri!" seru Adhara yang membangunkan sahabatnya itu dari lamunan. "Ya sorry, gue throwback nih... Masa-masa itu indah banget ya.." jawab Natanya. "Iya tahu, Nat, indah banget. Tapi nyaktin juga akhirnya! Udah mendingan lu cepetan makan, abis itu ke Katedral. Cepetan!"

Dengan tergesa-gesa, Natanya langsung melahap makanannya. "Ah sudahlah, lupakan!" ujarnya dalam hati. Adhara sendiri menatap sahabatnya itu dengan rasa kasihan. Bagaimana tidak, Dexter itu pergi dengan perempuan lain dari sekolahnya, hanya berdua, untuk menonton konser. Bahkan Dexter rela membayari perempuan itu! Tiketnya tidaklah murah. 3 juta rupiah per harinya, ia rela menghabiskan 9 juta untuk perempuan yang kabarnya adalah kekasihnya sebelum Natanya. Sedangkan sejak saat itu, Natanya ditinggalkannya dalam hubungan yang tak jelas. Tak pernah ada kabar. Giliran ditanya malah marah dan langsung diam seribu bahasa.

"Dhara, yuk jalan!"

***

Sepanjang jalan, Natanya dan Adhara terus bergurau. Walau pikiran Natanya melayang entah ke mana. Terus teringat akan kenangan lama.

"Udah tugas aja dulu yuk. Udah jam 5 loh," ujar Adhara. "Iya tau. Tapi ini dibawa dulu tempat lenteranya. Berat banget elah, bantuin dong, Ra!" keluh Natanya. "Udah sini gue aja," ujar seorang putra altar yang nampaknya sepantaran dengan Natanya. "Lah tuh siapa, Nat?" tanya Adhara. "Aldo, Ra."

***

"Lain kali kalaubutuh bantuan apa-apa yang susah, udah minta putra altar aja. Buat apa kita cowok begini kan? Yaudah, gue pulang dulu ya. Udah malem gini, lu pada cewek-cewek jangan pulang kemaleman" ujar Aldo. "Eh iya," jawab Natanya. "Dah, Aldo!" teriak Adhara.

Mereka berdua pun duduk di bangku lorong Katedral. Yah, sudah cukup sepi. Misa sudah selesai satu jam yang lalu dan mereka berdua belum dijemput juga. Adhara terus memandangi Natanya yang nampak melamun, melihat lorong panjang yang kosong.

"Heh, Nat! Melamun aja. Kalau suka ama Aldo yah akuin aja. Ganteng tuh anak, rajin tugas juga, peka lagi tadi langsung bantuin kita."

"Apaan si, Ra. Jangan ngawur deh."

"Kalau gitu, ngapain tadi salting di depan Aldo? Gini deh, cici kasih tau aja. Sembuhin luka hati lu dulu, baru bisa nerima yang lain. Ya siapa tau dia lebih baik daripada Dexter."

"Iya ciciku yang baik dan cantik. Lu sendiri jomblo tuh. Banyak kok anak putra altar yang suka ama lu. Ga kasih kesempatan buat satu orang aja gitu?"

"Ga mau ah. Biarin sendiri aja dulu."

"Halah, padahal juga ada tuh yang diliatin mulu sepanjang misa. Siapa yaaa? Namanya kalau tidak salah itu.." ujar Natanya sambil menyenggol Adhara. "Ih apaan sih, Nat. Jodohin aja sekalian gue ama organisasi putra altarnya biar puas situ." Adhara sendiri, memang menaruh hati pada seseorang, namun ia tahu bahwa dirinya tak bisa bersamanya. Teringat kejadian dulu, saat mereka masih kecil dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Kita ga boleh pacaran. Suka boleh, pacaran tidak. Janji ya, Ra!" ujar Valent. "Iya Val. Janji! Kita adalah sahabat selamanya!" seru Adhara dengan senyuman yang mengembang. "Sahabat selamanya! Sampai kita lulus SD, SMP, SMA, sampai selama-lamanya! Adhara, sebentar lagi kamu dilantik. Mulai saat itu, kita bisa tugas bareng!" ujar Valent dengan penuh semangat. Ya, bulan itu Adhara akan dilantik menjadi anggota Putri Sakristi Katedral, yang berarti, ia bisa bertugas bersama Valent. Sehingga sekalipun keduanya akan berbeda sekolah, setiap hari Minggu dan Jumat, mereka akan bertemu kembali.

Kini, giliran Adhara yang termenung sendirian. Ia tak bisa dan tak akan melupakan Valent yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri, sekalipun faktanya ia lebih muda beberapa bulan dari dirinya.

Drrrttttt... drrttttt

"Ci, lu udah dijemput tuh kayaknya, bokap nelpon," kata Natanya yang membuat Adhara kembali sadar. Dilihat smartphonenya. Satu panggilan tidak terjawab dan waktu yang menunjukan pukul setengah 9 malam. "Yaudah, gue duluan ya, Nat."

Is It A Sin for Me to Love You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang