Ambisi Belaka atau Panggilan?

18 4 0
                                    


Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Sudah purnabakti tugasnya sebagai Putri Sakristi, seragam sekolahnya sudah tak lagi terpakai. Kini Adhara adalah mahasiwsi tahun akhir di Universitas Atma Jaya Jakarta jurusan Sastra Inggris. Sementara Natanya adalah mahasiswi di universitas yang sama namun berada di fakultas Pendidikan Guru. Waktu berjalan cepat memang.

Adhara berjalan sambil membawa mapnya. Dengan flat shoes, jeans dan kemeja putih tipis. Memorinya mengenang masa lalu, jiwanya tak sabar dengan masa yang akan datang. Namun, apa masa yang akan datang? Mimpi itu masih terkubur. Hanya setengah tahun lagi, masa kuliahnya akan berakhir. "Mama papa sudah tahu, dulu pernah mengijinkan. Kamu harus berani Adhara!"

Adhara duduk, ia menarik nafas dalam-dalam. "Woi!" seru Natanya sambil menepuk pundah Adhara. "Eh elu, dek," ujar Adhara.

"Galau ya?" tanya Natanya

"Iya nih," jawab Adhara.

"Kenapa nih ci? Mikirin Valent?"

"Engga lah. Eh sekarang kita manggil dia 'Frater Valent' HAHAHAHAHAHA!"

"Iya woi ngakak ga sih. Frater HAHAHAHA. Cepet ya tau-tau manggilnya kayak gini 'hai frater'"

"Tapi bukan karena si Valent sih."

"Terus cici kenapa?"

"Gini loh, Nat. gue mo masuk biara."

"Udah tau. Mau Ursulin. Tau."

"Tapi gue ga berani melangkah. Ini udah menjadi mimpi gue dari dulu. Impian gue, Nat. Dari gue SD."

"Yakin?"

"Iya."

"Pernah ga lo bimbang?"

"Kadang iya..."

"Senoga pertanyaan ini ga bikin lo makin murung. Tapi memberikan lu jalan ya."

"Apa?"

"itu impian lu? Oke. Tapi apakah itu impian Tuhan untuk lu?"

Natanya langsung meninggalkan Adhara yang terdiam. Tatapannya kosong. Perkataanya itu terus terngiang. Kembali lagi ia gentar. Ia meremas tangannya. Nafasnya seketika terasa berat. "Apa yang Engkau mau Tuhan?"

***

Malam itu, Adhara berada di Katedral. Berlatih paduan suara untuk tugas Misa Kaum Muda Katolik bulan depan. Masih terbayang wajah Natanya saat mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang menghujamnya.

"Ra, yang ini nyanyinya gimana sih?" tanya Carollus. Ya, yang dulu dibenci oleh Adhara, yang dulu sama-sama menjadi pelayan altar. Adhara pun memberi contoh dengan suara pelan, agar tidak mengganggu yang lain. "Udah selesai baru nanya ya," ujar Adhara sambil memukul tangan Carollus. "Iya elah. By the way, lu jadi masuk biara?" tanya Carollus. "Oh Tuhan, apakah kau sedang mengujiku?" batin Adhara.

"Iya," jawabnya singkat.

"Yakin?"

"Jangan mencobaiku."

"Serius deh. Lu tuh cantik, berbakat, emang kaga ada apa yang mau ama lu?"

"Lu sendiri ngejar gue dulu ko."

"Nah jadi buktinya lu tuh ga bakalan jones. Lu bisa kerja punya uang banyak. Nikah punya anak. Kenapa mau jadi suster sih?"

"Perlu aku jelasin ulang apa semuanya, Ko?"

"Ya elah gue juga udah tau dari awal tapi, kenapa gitu loh. Lu jadi suster ga digaji loh."

"Iya tau."

"Ra, lu cinta ama Valent kan?"

"Kenapa tiba-tiba bahas Valent?"

"Nikah aja ama Valent. Lu suka bilang kan kalo lu mimpi nikah tapi sendirian. Artinya Tuhan ga mau lu jadi suster. Lu juga gausa egois lah."

"Lo gila ya? Bahkan Valent udah dipanggil 'Frater' dan lu minta gue goda dia gitu? Ko, kok lug a berubah sih?"

"Jangan egois, Ra. Tuhan ga mau lu jadi suster?"

"Emang lu Tuhan jadi tau? 'Jangan egois' lu bilang kan. Tapi lu minta gue tarik Valent. Itu namanya egois. Jadi Imam itu susah. Gue ga mau gagalin sahabat gue sendiri."

"Adhara, Adhara. Dari dulu keras kepala."

"Jangan sentuh sehelai pun rambut gue! Tolong, jangan bikin gue marah dengan attitude lu, Ko."

"Ra, itu bukan panggilan lu. Cuma ambisi lu doang. Impian lu, cita-cita lu. Bukan panggilan lu. Udah lah. Kalo lu jadi suster juga yang support lug a banyak kok."

Adhara menahan amarahnya. Air matanya sudah hampir menetes. "Yasudah terima kasih atas segala hal yang terlontar. Gue udah mau pulang."

Adhara berlari keluar sambil menangis. Air matanya terus diusap agar ia tidak terlihat menangis. Namun yang terjadi malah tangisnya makin deras dan itu membuatnya malah berlari menuju Gua Maria dan menajngis habis-habisan di sana. "Bunda, tolong aku. Kuatkan aku. Doakan aku, Bunda," batin Adhara sambil mendaraskan doa Rosario untuk ujud panggilan khusus bagi imam, biarawan dan biarawati.

Setelah doanya selesai, ia berjalan keluar. Di depan pos, masih ada Om Russel, Om Andreas, Tante Na dan Om Ivan. "Hai Om, hai tante!" seru Adhara dengan girang, berusaha menutup semua yang terjadi sebelumnya. "Halo Adhara," ujar Tante Na. "Habis latihan apa tadi?" tanya Om Ivan. "Latihan padus OMK, Om," jawabnya. "Adhara, beneran jadi suster kan?" tanya Om Andreas. "Apa lagi sekarang?" batin Adhara.

"Iya om."

"Sudah bulat ya? Sudah yakin?"

"Iya om."

"Kayaknya kadang ragu ya?"

"Iya nih om. Kadang mikir, beneran jalan aku bukan. Terus denger kata-kata temen yang kayak 'lu ga jadi suster juga ga kotor' lu gausa jadi suster' 'itu bukan panggilan lu' itu tuh yang paling nusuk yang bikin aku suka goyah."

"Jangan dengarkan mereka, Ra. Ikuti kata hatimu saja. Tuhan juga berbicara lewat hatimu. Tetap kuat ya. Om dan kami semua yang di sini selalu mendoakanmu."

"Iya om. Makasih loh ya."

Langkahnya menjadi lebih ringan. Hatinya terhibur dan mendpat kekuatan. Hanya dengan percakapan singkat tadi, ia merasa bahwa Tuhan kembali menyapanya. Senyum kembali menghias wajahnya. "Kini tinggal ngomong ama papa mama."

***

Hari minggu itu, Minggu Panggilan. Sudah bukan Putri Sakristi lagi, kembali Adhara duduk bersama orangtuanya. Misa jam 11 kala itu. ia duduk tak jauh dari keluarga Valent, dan ia melihat Gabriele, adi valent yang bertugas. Ingin rasanya ia lambaikan tangan. Rindu memakai kembali pakaian tugas itu. "Pa," ujar Adhara. "Iya? Kenapa?" tanya papanya. "Hari ini Minggu Panggilan," ujarnya kembali. "Emang kalau Minggu Panggilan kenapa, Ra?" tanya mama. "Aku mau jadi suster ursulin. Aku mau membiara," ujarnya pelan. Sedikit gugup dan gemetar. Takut dengan jawaban tak menyenangkan dari kedua orangtuanya itu. "Kalau sudah jalan, bagaimana kita bisa melarang," ujar papanya. "Yang penting kamu lulus dulu ya," ujar mama. Memang bukan jawaban yang diharapkan Adhara, namun setidaknya tidak ada ejekan di dalamnya.

Ia ingat saat ia menyampaikan keinginannya itu pada omnya. Kakak dari mamanya yang ada di Kalimantan ketika menginap di rumahnya. Masih teringat betapa keras teriakan pria itu. "Dasar fanatic!" teriaknya. Adhara hanya berlari ke lantai dua lalu menangis sambil berharap agar cepat pulang. Tahun Baru Imlek yang dihabiskan di sana sama sekali tidak menggembirakan. Memang sudah bertahun-tahun yang lalu, namun itu memberikan luka tersendiri bagi Adhara. Kata-katanya telah menusuk hati Adhara dan menyisakan lubang yang menganga, yang kembali berdarah karena kawan-kawanya. "Oh seandainya kau ada di sini, Valent," batin Adhara.

Is It A Sin for Me to Love You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang