Minggu itu, minggu pertama di bulan September, Adhara yang melangkah gembira menuju sakristi tak akan menyangka apa yang akan terjadi hari itu. Seperti biasa, tak jauh beda saat ia masih menjadi seorang Putri Sakristi. Straight jeans, kaos oblong, dan flatshoes. "Wah, datang cantik-cantik nanti ketutup juga, Ci Adhara," ujar seorang putra altar. "Heh, dari jaman cici pusakris juga gitu. Kamu juga. Datang ganteng-ganteng juga ketutup ama superpli kan bajunya," Adhara memang mengenal anak itu. Berbeda 6 tahun dengannya. Saat itu, ia melihat laki-laki bernama Carlo yang masih kelas 4 sementara ia sudah kelas 10. Anak polos itu memintanya untuk membantu mencarikan rok yang sesuai dengan warna liturgi.
Dipakainya jubah lektris itu. Semenjak lepas masa tugas menjadi seorang putri sakristi, Adhara langsung mendaftar untuk menjadi seorang lektris. Tentunya orang-orang tak lagi asing dengannya. Anak perempuan yang sama hanya berbeda tugas dari yang sebelumnya.
"Ci! Cici!" seorang perempuan memanggilnya. "Eh, Aurelia. Napa? Aku bukan putri sakristi lagi loh, jangan minta aku beresin buku point atau posisi tugas nih," jawab Adhara sambil tertawa. "Paan si ga jelas deh. Ci, kita kedatengan frater loh!" ujar anak kelas 10 SMA Santa Ursula yang juga junior putri sakristi Adhara. "Frater siapa? Perasaan cici ga liat," ujar Adhara dengan nada datar. "Aku ga tau namanya. Bukan ga tau sih, kayak pernah kenal tapi lupa. Mukanya familiar kok ci. Seharusnya cici yang lebih kenal sih. Katanya dia dulu misdinar sini," jelas Aurelia. "Dari Seminari Tinggi Yohanes Paulus II ya?" tanya Adhara. Ia tak merasa kegirangan atau bagaimana, karena ia yakin, frater itu akan membina Misdinar dan Putri Sakristi Katedral Jakarta, bukan dirinya. "Ga tau ci," jawab Aurelia bingung. Adhara hanya berjalan melihat map lektrisnya. "Ci, koko pulang," ujar Ella, adik Valent. Ya, masih ingat Valent bukan? "Oooh," jawab Adhara datar. Ia terlalu fokus membaca berulang-ulang bacaan kedua hari itu.
Tak lama, masuklah laki-laki tinggi memakai jubah putih. "Oh itu fraternya," ujar Adhara dalam hati.
***
Dari: Valent
Untuk: Adhara
Heh neng cantik. Aku pulang loh. Ga mau disambut gitu?
"Gila gue sabar banget ya ama ni anak. Udah 3 hari ni email kaga dibaca kaga dibuka kaga dibales," batin Valent. Ia duduk di depan televisi. "Gimana frater? Memori masa lalu terulang bukan?" ujar Romo Albertus. "Ah iya ya. Panggil nama aja, Romo. Valent kan dulu misdinar sini," ujar Valent sopan. Amat berbeda dengan dirinya yang dulu, suka membanding-bandingkan kepala paroki ini dengan romo lainnya.
"Boleh deh, biar lebih akrab ya. Hahahahaha. Sudah bertemu teman-teman yang dulu belum?" tanya Romo Albertus.
"Belum. Tapi kalau keluarga mah sudah," jawab Frater Valent sambil tertawa. Ya, Frater.
"Ya itu pasti dong."
"Kamu ditugaskan selama 1 tahun ya di sini?"
"Iya, Romo. Cuma 1 tahun. Tapi bisa diperpanjang sih, tergantung SK."
"Semoga kerinduanmu terobati selama di sini ya."
"Amin, Romo."
"Kamu cepatlah ke sakristi. Kenalan dulu siapa tahu. Nanti ingat kamu akan memperkenalkan diri di depan umat."
"Siap, Romo. Saya duluan ya."
Kalimat yang diucapkan oleh Romo Albertus terus terngiang dalam pikiran Frater Valent. "Semoga keriunduanmu terobati selama di sini ya." Valent yang dulu seorang Misdinar Katedral Jakarta kini kembali dengan memakai alba putih. Valent yang dulu suka bermain kejar-kejaran di halaman samping gereja kini berjalan dengan penuh wibawa di tempat yang sama. "Terima kasih, Tuhan. Kau tempatkan diriku di tempat asalku."
Pintu sakristi ia buka. Tak ada yang menyapanya. Semua orang sibuk sendiri-sendiri. Ia melihat ke kiri dan terlihatlah, Adhara yang kini tingginya tak melebihi bahunya. Adhara yang bersikap lebih dewasa, terus melatih bacaan yang akan ia bacakan. Tangannya ingin mengejutkan Adhara dari belakang, namun melihat betapa seriusnya Adhara, ia mengurungkan niatnya.
Ia masuk ke dalam dan menyapa semua Misdinar dan Putri Sakristi yang bertugas. "Halo semuanya!" seru Frater Valent. "Hai, Frater!" seru mereka. "Frater namanya siapa?" tanya seorang Putri Sakristi. "Ah nanti juga tahu. Aku mantan Misdinar sini loh!" ujar Frater yang membuat petugas-petugas muda itu menganga sambil berkata "Wow...." Frater Valent membuat isyarat agar adiknya, Ella, diam dan tidak memberitahukan identitas dirinya.
Semua petugas sudah berkumpul di bagian depan sakristi beserta Romo Albertus. Perayaan Ekaristi akan dimulai pukul 11.00. Masih ada 20 menit. Sebelum Frater Valent memperkenalkan diri, Adhara memberanikan diri untuk berbicara kepadanya. "Halo, kenalkan. Namaku Adhara. Asal Frater tahu, Frater mirip sekali dengan sahabat saya. Valent namanya," ujar Adhara percaya diri. "Wah, salam kenal juga. Kamu pasti dulu Putri Sakristi juga kan?" ujar Frater Valent. "Iya! Wah kok Frater tahu?" tanya Adhara bingung. "Pasti aku tahu."
***
Frater Valent duduk di samping Romo Albertus. Ia tak gugup, malah amat bersemangat. Ingin rasanya berteriak, "Aku Misdinar Katedral!" Sampai tiba saatnya ia memperkenalkan diri.
"Selamat siang Romo Albertus, om, tante, kakak, adik. Nama saya Leonardo Valent. Biasa dipanggil Frater Valent. Tapi buat yang masih ingat dan masih kenal saya, panggil Valent saja. Saya dulu Misdinar di sini. Dan saya melanjutkan SMA di Seminari Menengah Mertoyudan. Di sini, saya akan mendampingi junior-junior saya ya. Haduh, ngomongnya junior, kayak serasa udah senior aja ya. Ya, saya akan mendampingi adik-adik Misdinar dan Putri Sakristi. Di sini juga bertugas adik saya sebagai Putri Sakristi, halo Ella! Mohon dukungan dan bantuannya ya. Terima kasih."
Tepuk tangan meriah memenuhi gereja. Bagaimana tidak, mantan Misdinar kembali ke paroki asalnya sebagai seorang Frater Jesuit. Kali ini, giliran Adhara yang tertegun. "APAAAA???!!! TUH FRATER! NANI?! GUE MIMPI YA!" batinnya. Apa lagi sebelum turun dari mimbar, Frater Valent menatapnya sesaat. "Kok dia ga bilang-bilang sih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It A Sin for Me to Love You?
Romance"Aku mencintainya, sungguh, namun ia bukan milikku," Bermula sebagai sepasang sahabat, Adhara dan Valent bertumbuh dalam kasih yang amat dalam. Mereka saling mencintai. Namun, mencintai tak harus memiliki bukan? Karena terkadang level tertinggi dari...