3. Hari pertama, Chakra !

19 4 0
                                    

"Chakra. Bangun. Chakra. Bangun."
Ghea dan Deo, adiknya melompat-lompat di atas kasur Chakra kayak anak kecil.
Tetap aja Chakra ga mau bangun.
Jam berapa ini ?

Tak kehabisan ide, Ghea dan Deo menggambari wajah Chakra menggunakan spidol Mas Danu. Lalu mencipratkan sedikit air ke wajah Chakra.

"Kalian ngapain, sih ? Pagi-pagi udah gangguin orang," Chakra terbangun kaget sambil bersungut-sungut.

Ghea dan Deo berlari ke luar kamar sambil cekikikan.
Chakra berjalan gontai ke kamar mandi.
Begitu ia melihat cermin,
"MUKA GUE KENAPA NIH ?!!!"

******

Hari ini kata Ghea mereka bakal nanem padi di sawah. Ya iya di sawah masa' di mall ?
Chakra berjalan lemas, rasanya ia terlalu malas mau bantuin Ghea. Terlalu pagi...
Pandangan Chakra beralih ke rantang besi yang Ghea bawa.
"Ghe, apa isi rantangnya ?"

Ghea tersenyum, terbesit ide untuk ngerjain Chakra.
"Narkoba,"

"Ha ?! Beneran Ghe ? Kalo kita di tangkap polisi gimana ?" Sentak Chakra.

"Ga bakal, palingan polisi yang bakal minta ke kita,"

"Lo ga paham apa ? Narkoba kan barang haram..."

"Chakra udah biasa wae. Isi rantangnya tuh NAgasari, Risoles, KOpi dan BAkwan." Tukasnya ringan tanpa mempedulikan wajah Chakra memerah karena malu udah panik duluan.

Begitu sampai di sawah, Chakra kaget.
Sawah yang mereka harus tanami luar binasa luas.
Itu berarti kerjaan mereka ga sedikit. Apalagi pakdenya Ghea tidak bisa membantu karena harus menjual hasil panen sayur di pasar.

"Biar cepet, kita bagi tugas. Gue yang kiri, lo yang kanan."
Ghea menaruh rantangnya di gubuk lalu melepas sandal jepitnya di tepi sawah.

Ghea lalu mengajari Chakra cara menanam padi yang bener.
Mulai dari cara ngambil serumpun demi serumpun hingga cara menentukan jarak antar padi.

"Ghe, gimana kalo yang selesai dulu jatah makannya lebih banyak ?" Terbesit ide di otak Chakra untuk membalas guyonan Ghea barusan.

"Serah lo, deh."

Ghea mulai menanam bagiannya dengan prisip alon-alon asal kelakon. (perlahan tapi pasti)
Kalo Chakra...
SERAMPANGAN !
Nanem dimanapun dia mau. Kirilah, kananlah.
Semau gue gitu lho, yang penting cepet selesai dan jatah makan lebih banyak.

Tak sampai tengah hari, bagian Chakra udah selesai.
"Ghe, gue udah selesai !" Serunya pede.

Ghea melihat ke arah kerjaan Chakra.
"Ya Allah... Chak, lo itu main kelereng atau nanem padi ? Gue bisa kena masalah kalo lo nanemnya berantakan begitu." Omelnya bisa dibayangin gimana marahnya Ghea melihat setengah dari sawah itu berantakan.

Senyum Chakra menghilang,
Mau tidak mau Chakra harus membongkar hasil "kerja keras" yang serampangan.
Begitu ia selesai membongkar bagiannya, bagian Ghea udah selesai di tanam.

Chakra lemas,
Kini jatah makannya jadi dikit mana "cacing" di perutnya udah ribut.

"Sini," Ghea mengambil tangan Chakra untuk menuntunnya menanam padi dengan rapi. Chakra menatap tangannya yang di pegang Ghea.
Lalu menoleh pada Ghea yang lebih konsen sama padi. Chakra menatap Ghea lekat-lekat.

"Ada apa, Chak ?" Tanya Ghea. Ia baru sadar kalo Chakra dari tadi menatapnya lekat.
"Eh, anu... e, ngak kok.."

********

Setelah seluruh bagian sawah selesai di tanam, Ghea dan Chakra berjalan pulang sambil menenteng rantang dan alas kaki masing-masing.
Langit menghitam seperti pantat kuali.sementara angin ga henti-hentinya berhembus kencang, sesekali terdengar suara gledek.

BREEEEESS.....

Tiba-tiba hujan turus dengan sangat lebat ga pake permisi atau pengumuman.
Chakra kelabaan, ia sibuk celingak- celinguk mencari tempat berteduh dan berlari buat berteduh di pos ronda.
Ghea sih berjalan dengan selow. Ga peduli kalo hujan menguyur badannya yang semampai.
Maklum, Ghea udah biasa pulang hujan-hujanan.

"Ghe, cepetan sini ! Jangan main hujan." Panggil Chakra
Entah kenapa ia tiba-tiba khawatir pada Ghea dan ingat perkataan Cecil soal hujan.

"Idiih... Chakra katrok, ah" balas Ghea.

"Cepetan sini, nanti lo sakit gimana ?"

"Ealah ni bocah, gue udah biasa kehujanan,"

"Ghea, hujan tu dari laut, laut 'kan tempetnya para ik..."

"Gue tau hujan itu dari laut, emangnya... lo jijik sama hujan ?" Potong Ghea sembarangan.

"Ga sih, tapi..."

Ghea berhenti berjalan,
"Emang lo ga pernah main hujan ?"

Chakra menggeleng pelan, ia berharap Ghea berhenti main hujan-hujanan.

"Kepompong, kupu-kupu
Kasian deh lo..."

Ghea tertawa mengejek Chakra, lalu berlari pulang duluan.

"Eh, Ghea, tunggu !"
Begitu Chakra berusaha mengejar Ghea, ga ada siapa-siapa di jalan desa yang memutih karena hujan yang saking derasnya.

"Haduuh,Ghea pulang duluan... mana gue ga tau jalan, lagi " Chakra mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Di sisi lain ia merasa khawatir kalo Ghea sakit gara-gara main hujan.

"Chakra,"
Ada yang memanggil namanya dari atas,
Ia melongo ke atas, ia melihat Ghea menggatung di salah satu cabang pohon nangka sambil memegang sebuah payung kecil.

"Nih," ia melompat turun sambil menyodorkan payungnya.
"Gue nemu kesangkut di pohon, pake aja biar lo ga basah, "

Chakra terpaku, "lo gimana ?"
"Gue udah biasa hujan-hujanan,"
"Gimana kalo lo sakit ?"
"Hujan ga bakalan bikin sakit, percaya deh."
"Beneran ?"

Ghea mengusap wajahnya yang di penuhi air hujan, "Iya, benaran. Ni bocah ngapa yah? "
"Ya udah, kita balapan aja siapa yang nyampe duluan ke rumah,"
Chakra mengiyakan,

"Mulai pas hitungan ke 5 ya."
"1... 2... 5!"
Ghea langsung melesat berlari menembus hujan,

Chakra kaget,
"Weh, curang ih !"








Hujan [emang ada ?] Di Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang