BAB 15

378 25 2
                                    

Tak mudah memang menangis yang bukan berasal dariku, tapi dari mataku
Tak mudah memang menahan perih yang bukan dari jiwaku, tapi dari kisahku
Tak mudah memang selalu tersenyum yang bukan dari hatiku, tapi dari wajahku
Tak mudah memang ketika sesak menghimpit seluruh rongga dada
Semua itu tak mudah, setiap saat hatiku ter remas kenyataan tak seperti impian
Semua itu begitu menguras kekuatan jiwaku. Kau tau,
semua hal yang tak mudah itu ketika aku mencintaimu dalam diam
Maka, janganlah engkau membenciku karena ku putuskan jika kali ini aku tidak akan mencintaimu dalam diam.
Aku, akan mencintaimu dalam ikhlas
-Nasya Malika-
@aisyadzahra

***

''Ya? Ada apa?'' tanya Zain padaku. Ku lihat ia menunduk tanpa menatapku. Memang itulah yang sepatutnya terjadi antara lelaki dan wanita yang bukan mahramnya.

''Ah ini, ada titipan dari Ustadzah Nisa'. '' jawabku memberikan surat yang masih dalam genggamanku. Zain menerimanya, membolak balikan punggung surat seolah mencari keistimewaan di dalamnya. Aku berbalik melangkah pergi tanpa pamit, baru beberapa langkah aku melangkah. Suara seseorang menghentikan langkahku

''Ya Nasya!''

Aku berhenti, dadaku berdebar seolah konser rindu yang meredup kini berubah menjadi konser lebay khas orang jatuh cinta. Aku merasakan para penghuni hatiku tengah berteriak dengan keras dan berkata,

''Berbalik Nasya!''. Tak ku hiraukan teriakan penghuni hatiku itu. Aku terhenti masih dalam posisi yang sama, dan rasa malu menyelimuti jiwaku karena ku lihat pemuda ber umur 9 tahun itu tengah tertawa meledek karena pipiku yang sudah merona tanpa diminta.

Ah dasar bocah.

''Nasya! Jazzakillah Khairan,'' ucapnya. Mendengar itu aku tersenyum menunduk, sepertinya dadaku berdebar melebihi batas normal, aku takut jika debaran ini membuatku terkena serangan jantung tiba-tiba. Ah Allah, mengapa aku gugup sekali.

''Iya Ustad,'' jawabku tanpa berbalik.

''Jika Nisa' mengatakan sesuatu padamu, saya minta kamu jangan terlalu percaya padanya,'' kata Zain. Aku bingung, apa maksudnya?

''Maksud Ustad,'' tanyaku bingung masih dengan posisi yang sama.

''Maksudku, jangan percaya pada siapapun yang mengatakan tentang diriku.''

''Lalu pada siapa saya harus percaya?''

Pada siapa memangnya aku harus percaya? Padamu? Atau pada mereka, Allah pun tak akan menjawab tanyaku, karena aku telah paham dan tau kepada siapa aku harus percaya, ya kepada DIA. Beberapa menit setelah tanyaku, dia tak bersuara maka aku putuskan untuk berlalu pergi meninggalkan dia yang terdiam mematung memikirkan apa jawabannya.

Aku melangkah dengan gontai, seolah semangatku yang awalnya membara redup seketika. Memanglah akan seperti ini apabila dilanda fitrah yang menjengkelkan, mengapa menjengkelkan. Karena bagiku fitrah ini sepatutnya belum hadir dalam dadaku, menggelora seolah memaksa agar segera memilikinya padahal jiwaku sendiri telah tau apabila kisah ini hanya aku yang berperan, tidak dengan Zain.

Beberapa jam kemudian...

Suara semangat para santri yang bersurak menyemangati karibnya tengah bermain games sebagai pelengkap acara milad rumah tafidz mengalihkan pikiranku yang tiba-tiba memikirkan Rizky. Beberapa jam lalu Rizky menghubungi via telepon dan katanya dia akan dating menemuiku dan menemaniku disini, padahal aku sudah punya banyak kawan tapi tetap saja dia tidak percaya, selain itu dia juga hendak cek my recorder. Katanya pula dia ingin mendengar ceritaku selama sudah berapa bulan disini. Aku berusaha untuk tidak terlalu canggung setelah kejadian beberapa hari yang lalu tentang pengakuan tidak langsung dari Rizky. Dan aku telah berjanji pada diriku sendiri akan lebih menghargai seseorang yang telah lama mewarnai hariku, tidak malah asik dengan rasa yang baru saja hadir pada seseorang yang masih memberi warna abu dalam hidupku.

Heaven In Youre EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang