Usai membaringkan Alesha di tempat tidur, Darren memadamkan lampu dan beranjak menuju ke sisi kanan kamar, membuka seluruh tirainya. Di detik yang sama, cahaya purnama menyusup menembus dinding kaca.
Pria itu menempelkan telapak tangan di permukaan kaca. Matanya menerawang jauh, memperhatikan pijar lampu di kota kelahiran renaisans. Bintang-bintang berpijar menyemarakkan langit kota Florence.
Pandangannya beralih pada sesosok wanita yang terbaring lemah. Cahaya purnama menerpa wajah sayu berlumur air mata. Darren menghela napas kasar. Ribuan anak panah serasa menghunjam jantungnya. Menyakitkan!
Kali ini, Darren tidak tahu apakah ia patut berbahagia atau justru harus merasa sedih. Baiklah, ia patut berbahagia karena mampu menahan Alesha untuk menemani tidurnya. Namun, di sisi lain, rasa takut yang berlebihan sedang bersembunyi di alam bawah sadarnya.
Esok hari, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin Alesha akan menerima permintaan Darren untuk kembali memperbaiki hubungan mereka. Atau sebaliknya, wanita itu lebih memilih untuk menjadikan malam ini sebagai malam terakhir.
Darren menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara kasar, meninggalkan jejak embun pada kaca yang bersentuhan dengan hidung. Darren berbalik menghampiri Alesha, berbaring di samping wanita itu.
Darren tertawa getir. "Semenjak kepergianmu, aku selalu tidur berteman cahaya rembulan. Kau tahu kenapa?" Ia menoleh, tetapi Alesha tidak merespons. "Karena aku ingin selalu mengenang malam di mana kita memadu cinta."
Sunyi. Hanya terdengar desah napas yang saling bersahutan.
"Awalnya aku berpikir, karena berhasil menjadi pria pertama yang menyentuhmu, maka kau akan sepenuhnya menjadi milikku. Tapi ternyata aku salah. Keesokan harinya kau hanya meninggalkan jejak keperawanan. Sementara keberadaanmu bagai lenyap ditelan bumi." Darren melanjutkan kalimatnya meskipun Alesha sama sekali tidak menimpali.
"Kau tahu apa yang aku rasakan saat itu? Ya, aku merasa duniaku telah hancur. Betapa bodohnya aku karena telah memilih bersembunyi di balik tameng kebencian." Pria itu kembali tertawa getir.
"Tidak bisakah kau berhenti bicara, Darren? Aku ingin tidur!" tukas Alesha cepat. Isak tangisnya mulai terdengar. "Jangan memaksa untuk mencungkil semua kenangan yang sudah aku kubur dalam-dalam."
Darren menoleh, bersamaan dengan mata cokelat Alesha yang juga menatapnya. Baiklah, bukan hanya Alesha yang merasakan luka lama. Melihat buliran bening itu, hati Darren tercabik-cabik. Demi Tuhan, rasa takut akan kehilangan itu semakin memuncak.
"Biarkan kenangan itu muncul ke permukaan. Jangan biarkan mengendap terlalu lama di dasar hatimu. Kau harus membuangnya, bukan malah menyimpannya. Hapus semua itu, Alesha. Beri aku kesempatan untuk menggoreskan kenangan indah di lembaran baru."
"Tidak bisa. Itu sulit!"
Darren menggulingkan tubuh ke arah Alesha. Dengan bertumpu pada kedua siku, ia menatap wajah cantik itu.
"Trust me, aku akan selalu menjadi satu-satunya orang yang akan menghapus air matamu." Perlahan, Darren memberikan kecupan lembut di wajah Alesha, menghapus semua jejak air mata hingga tidak bersisa. "Don't cry!"
"Tolong, aku ingin tidur," ucap Alesha seraya bergerak memunggungi Darren.
Pria itu mendesah. "Baiklah. Selamat malam. Meski sebenarnya aku merindukan ucapan selamat malam dengan sebuah kecupan seperti dulu."
Tidak ada jawaban. Oke, Alesha butuh waktu untuk menenangkan diri. Darren hanya bisa tersenyum getir dan beringsut semakin dekat dengan wanita itu. Tangan kokohnya meraih tubuh Alesha ke dalam pelukannya. Sementara wajahnya mencari kenyamanan di antara rambut yang tergerai, menghirup seluruh aroma mawar yang menguar dari sana. Disimpannya baik-baik di dalam rongga dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Husband
Romance✨ 244 Days to Hurt You - Book 2 ✨ Saat memulai hidup baru, Alesha kembali bertemu dengan Darren, dan kembali tenggelam dalam pahitnya masa lalu yang seharusnya telah ia lupakan. *** Setelah melewati 244 hari penuh penderitaan, menjauh dari Darren ad...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi