"Tiga... Dua... Satu..."
Tepat ketika ia selesai menghitung, jam dalam kelas tersebut berdenting, menandakan bahwa kelas yang sedang berlangsung telah usai.
Hyesung dengan cepat merapihkan semua buku dan peralatan menulisnya ke dalam tas.
Tak peduli akan beberapa orang yang mengenalnya menatapnya dengan aneh.
"Hyesung-ah, kenapa terburu-buru?" tanya salah satu temannya sambil menepuk pundak Hyesung.
Hyesung menatap pemuda tersebut dengan mata yang membulat penuh. Sadar bahwa ia terlalu panik, ia dengan perlahan menutup tasnya sambil berusaha terlihat normal.
"A-ayahku datang ke Seoul, aku tak boleh membuatnya menunggu."
Hyesung hanya berharap agar temannya tersebut segera mempercayai ucapannya barusan.
"Ah, seperti itu. Jangan terlalu terburu-buru, kau bisa celaka."
Hyesung mengangguk sambil tersenyum, kemudian melambaikan tangannya dan ke luar dari ruangan itu.
Tanpa berpikir panjang, Hyesung langsung memberhentikan sebuah taksi setibanya di depan kampusnya.
Setelah menyebutkan alamat apartemennya, ia menyandarkan punggungnya dan kepalanya di jendela taksi.
Sambil merutuki dirinya sendiri tentang kebodohan yang dilakukannya pagi ini.
Hyesung bangun tepat lima belas menit sebelum kelasnya dimulai, maka itu ia meninggalkan pemuda yang ia temukan dan bawa ke apartemennya kemarin malam sendirian di apartemennya.
Walaupun Hyesung memang tak memiliki benda berharga apapun di apartemennya. Hal paling berharga yang ia miliki adalah tugas-tugas yang berserakan di atas meja belajarnya dan kartu ujian yang akan ia gunakan seminggu lagi saat ujian semester berlangsung.
Tak sampai limabelas menit, ia sampai di apartemennya. Dengan cepat, Hyesung menekan tombol lift ke lantai sebelas.
Setibanya di depan pintu apartemennya, jantungnya berdegup tak karuan. Takut akan sesuatu yang tak ia inginkan berada di balik pintu masuk apartemennya.
Sebenarnya, yang tak ia inginkan hanya satu. Pria itu membakar dan menghancurkan apartemennya, yang tentu semua orang ketahui mustahil, karena tak ada keributan maupun kegaduhan di apartemennya saat ini.
"Apa yang kau takutkan bodoh," gumamnya pada diri sendiri sambil memasukkan kode pintu apartemennya.
Setelah bunyi bahwa kode yang ia masukkan benar, Hyesung menekan gagang pintunya dan membuka pintunya dengan lebar.
Ia tak terlalu terkejut akan apa yang ada di hadapannya saat ini.
Apartemennya baik-baik saja. Hanya, pria itu sudah hilang dari tempat terakhir ia melihatnya tadi pagi.
Hyesung mulai melangkah masuk ke dalam apartemennya sambil menutup pintu masuk.
"Apa yang kau harapkan, huh?" ucap Hyesung dengan perasaan mengganjal di hatinya.
Tentu saja Hyesung mengharapkan agar apartemennya baik-baik saja. Tetapi, kenyataannya hatinya berkata lain setelah ia melihat bahwa ruang tamunya hanya tersisa dengan sofa yang semalam menjadi alas tidur pemuda yang tak ia ketahui namanya tersebut.
Teringat akan sebuah kalung pemberian ayahnya yang lupa ia kenakan tadi pagi karena terlalu terburu-buru, Hyesung langsung berlari kecil menuju ke dalam kamarnya.
Dengan cepat, mata dan kakinya menuju ke nakas sebelah ranjangnya.
Ia bernapas lega bahwa kalung itu masih ada di sana.
Pria itu benar-benar tak meninggalkan jejak apapun di sini, batinnya.
Hyesung mengambil kalung tersebut, kemudian mengenakannya di lehernya dengan mudah.
Ia kemudian menuju ke lemari pakaiannya. Satu jam lagi ia harus pergi ke tempat kerja paruhnya yang berjarak tidak terlalu jauh dari apartemen.
Setelah mengambil atasan seragam dan sebuah celana panjang, Hyesung menuju ke kamar mandi untung menyegarkan pikiran dan membasuh dirinya yang terasa lengket karena berlari dari kelas sampai ke depan gerbang kampusnya.
Ketika Hyesung melangkah ke dalam kamar mandi, ia melihat ada sebaskom besar air berwarna merah dan sebuah kain basah yang juga berwarna merah.
"Astaga, kamar mandiku seperti kapal pecah."
Semalam, ia hanya tidur tiga jam karena membersihkan darah yang berada di sekujur tubuh pemuda yang tak ia kenali tersebut, dan ia tak sempat membereskan peralatan seperti baskom dan kain ketika ia mandi tadi pagi.
Hyesung teringat bagaimana takut menguasai dirinya saat ia mulai membasahai kain dan mengusap kulit pemuda tersebut tadi malam.
Awalnya ia takut dan kembali mencari luka yang menjadi penyebab banyaknya darah di tubuh pemuda itu.
Tetapi setelah selesai membersihkan tubuh pemuda itu, ia tak dapat menemukan luka sedikitpun di tubuh pemuda itu.
Apa mungkin seseorang benar-benar menyiramnya dengan seember darah? Atau jangan-jangan ia adalah seorang pembunuh? batin Hyesung.
Hyesung menggelengkan kepalanya, berusaha melupakan perbuatan bodohnya untuk menolong orang yang berlumuran darah semalam.
Ia kemudian mulai membereskan baskom dan kain tersebut. Setelahnya, ia langsung menuju ke dalam shower dan mulai membasuh dirinya.
Saat selesai mandi, Hyesung hendak menjemur handuknya di balkon apartemennya, sebelum ia melihat sebuah benda kecil yang terselip di sofa miliknya.
Rasa penasaran langsung menyelimuti dirinya. Ia pun dengan cepat menjemur handuknya dan berjalan ke arah sofa tersebut.
Hyesung meraih benda yang terselip di antara alas dan senderan sofa tersebut.
Untung saja ia memiliki tangan yang kecil, jadi tak susah untuk meraih benda tersebut.
Hyesung menarik keluar benda itu kemudian dengan cepat menjatuhkannya setelah melihat jelas benda yang ada di tangannya tersebut.
"Tidak mungkin aku baru saja menolong seorang pembunuh bukan?"
Thankyou for reading and voting .
All the love,
Berryl
