Chap 7. Kejutan Kecut

4.1K 399 81
                                    




“Anak monster... anak monster.. anak monster”



Teriakan itu mengalun dari anak-anak nakal disebuah taman yang cukup sepi. Teriakan yang bernada ejekan itu terus saja merika alunkan. Sesekali tangan mereka melempar batu kerikil ke satu arah. Satu objek. Yaitu seorang anak kecil yang menunduk di tanah sambil menangis histeris. Dia tak berani untuk melawan. Dia lemah. Tak berdaya. Terlebih hatinya berdenyut nyeri mendengarkan julukan sekumpulan anak nakal itu ‘Anak Monster’.

“Hiks. Hiks. Hiks ” hanya tangisan yang mampu dikeluarkannya. Yah. Perkataan mereka tak salah. Dia monster. Monster yang menakutkan. Sebelah wajahnya rusak. Namun anak itu diusia nya yang baru 10 tahun harus mengalami tekanan. Bukan maunya dia berwajah  begini. Bukan salahnya kalau dia harus menanggung kerusakan di wajahnya. Kalau bisa dia sangat membenci wajahnya. Wajah yang rusak mengingatkannya dengan ayah dan ibu nya. Yang tewas dalam kecelakaan.  Inilah penyebab wajahnya kini layaknya monster.  Kecelakaan. Itu takdir bukan? Dan siapa yang menginginkan hal tersebut? Tidak ada.

“Anak monster menangis. Ayo kawan-kawan lempar batu yang banyak. Nanti dia mengamuk dan melukai kita” seruan dari anak yang lebih besar itu membakar semangat teman-temannya untuk melempari bocah dihadapannya. Sang anak monster.

Tuk

Tuk

Tuk

Buk

Buk

Buk

Entah berapa batu yang menghujaninya. Yang dia rasa kan kini semua badannya nyerih dan pedih. Hatinya sakit. Bau anyir yang berasal dari kepalanya seakan melengkapi penderitaanya. Darah itu mengalir di wajahnya yang rusak karena terbakar. Air matanya pun semakin deras turun. Digigitnya bibirnya sekuat tenaga untuk mengalihkan sakit. Tapi apa yang di dapatkannya. Bibirnya turut terluka. Lagi. Rasa sakit itu makin bertambah.

“Ayo lempari terus. Ayo...” sebuah suara menginterupsi tindakan segerombolan anak itu. Para anak nakal memandang seorang anak laki-laki berambut hitam kelam itu. Nampak bocah tersebut membawa handycam untuk merekam aktivitas mereka.

“Siapa kau?” bentak anak yang lebih besar.

“Aku? Kau bertanya siapa aku? Aku anak polisi. Memangnya kenapa ?” jawab anak itu santai

“Lalu untuk apa kau kemari. Menjauh dari kami!!” bentaknya lagi.

“Kebetulan sekali. Ayahku sedang berpatroli disekitar sini. Mungkin kalau aku perlihatkan rekaman tindakan kalian maka dengan senang hati ayahku akan memberikan kalian hadiah” senyum licik tersungging di bibirnya. Beberapa anak itu mulai mengkeret ketakutan saat bocah itu dengan santai mengayunkan handycamnya. Mereka sadar apa fungsi benda yang di pegang bocah itu.

“Kuhitung sampai tiga. Jika sampai pada hitungan ketiga kalian tidak segera pergi, ayahku akan memasukkan kalian kepenjara” bentak bocah itu. Jelas saja mendengar kata penjara maka para bocah itu semakin ketakutan. Mereka bahkan berpelukan

“SA—“


Dan segera para gerombolan anak nakal itu berlari meninggalkan lokasi TKP dengan ketakutan.

“—TU” bocah itu kembali tersenyum licik. Pasalnya masih ada dua angka lagi yaitu dua dan tiga yang belum disebutkannya.

“Dasar para bocah idiot. Begitu saja sudah takut. Lagian appaku kan bukan polisi. Aku hanya berbohong saja. Bahkan aku belum menyebut angka satu dengan sempurna. Payah!”

CHIMCHIM, MOMMY AND BALLONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang