"Kalo ucapan maaf aja nggak diterima, langsung deketin orang tuanya aja, pasti dapet jaminan 99% dimaafinnya." -Irena Zavier.
👑👑👑
Malamnya, setelah Irena mendapatkan alamat rumah Adista, kini ia berada tepat di depan pintu rumah Adista. Rumah milik Adista memang cukup terbilang besar, desain interior nya pun juga terlihat mewah namun terkesan minimalis.
Senyum Irena nampak mengembang, ia terus saja menarik napas lalu membuangnya. Sejujurnya, ia merasa sangat gugup tak karuan karena membayangkan karakter kedua orang tua Adista. Bukan karena ia takut dengan orang Adista, namun bisa kalian bayangkan bagaimana pikiran Irena saat ini.
Begini, Adista saja sangat dingin, bagaimana mungkin Irena bisa nampak tenang jika membayangkan sifat orang tua Adista? Bukan apa-apa, namun hanya saja ia terlalu membayangkan sifat orang tua Adista jika saja sifat mereka melebihi dinginnya Adista. Bisa-bisa ia mati kutu dekat dengan orang tua Adista.
Ting Tung!
Irena menekan tombol yang berada dekat pada pintu masuk.
Tak lama, seorang perempuan keluar dengan seulas senyum. Wanita paruh baya dengan rambut tergerai diatas bahu tersebut masih saja memaparkan senyumnya.Irena bersyukur, ternyata tak begitu menyeramkan. Tak butuh waktu lama, Irena meraih telapak tangan wanita tersebut. Dengan sigap, ia mencium punggung telapak tangan perempuan tersebut.
"Malam, Tante." Ucapnya seraya mencium punggung telapak tangan perempuan tersebut dengan sopan.
"Tante cantik banget sih, pantesan anaknya juga ikut ganteng." Puji Irena mencoba mengambil perhatian perempuan tersebut.
Perempuan tersebut mengangguk lalu menautkan kedua alisnya dan masih tersenyum.
"Tante, perkenalkan nama saya Irena Zavier. Saya teman satu kelasnya Adista. Hm. Tante mamahnya Adista, kan? Adistanya ada?" Tanya Irena dengan semangat, seolah ia melupakan rasa takut dengan pikirannya terhadap sikap kedua orang tua Adista.
Perempuan tersebut mengangguk, lalu ia tertawa. Irena menaikan kedua alisnya, ia nampak bingung. Dimana letak kelucuannya? Sepertinya ia tidak sedang melawak, tapi kenapa perempuan tersebut dapat tertawa dengan lepas?
Perempuan tersebut menggelengkan kepalanya pelan, "Non Irena, saya ini bukan mamah nya Den Ata. Saya ini pembantu di rumah ini, malem-malem kok ngelawak sih, Non." Kata perempuan itu tertawa memegangi perutnya yang terasa sedikit keram karena sejak tadi ia menahan untuk tidak tertawa.
Mampus!
Irena menggigit bibir bawahnya menahan malu, entah warna merah seperti apa yang terpapar pada kedua pipinya. Yang jelas, saat ini ia sangat malu!
Rasanya, ingin sekali ia menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam air lalu menghilang dari posisinya sekarang. Bagaimana mungkin ia salah mengenali mama Adista dengan pembantu Adista? Bodohnya!
"Ya sudah, silahkan masuk. Den Ata, Tuan, sama Nyonya ada di dalam. Mari masuk." Kata Pembantu tersebut menahan tawa seraya mempersilahkan Irena memasuki rumah.
Irena mengangguk menurut, rasa malunya kini semakin mendominasi rasa gugupnya.
Irena dapat melihat jelas kedua orang tua Adista yang nampak berkumpul di ruang tamu. Sesekali mereka tertawa, dan mengambil cemilan di depannya. Sungguh pemandangan yang menyenangkan untuk di lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. My Ice King
Teen Fiction"Dalam hubungan itu nggak ada pemaksaan, kalo emang nggak suka, tolak aja terus." -Adista Zabimanyu. "Susah ya, ngomong sama pangeran es. Padahal, udah dikasih tau setiap detik kalo gue itu jatuh cinta sama dia. Tapi, dia selalu nolak ke gue, terus...