Setelah berhasil membawa Irena ke dalam UKS dengan tepat waktu, Irena secepat mungkin mendapatkan penanganan dari dokter yang ada di dalam ruang UKS.
Adista berada di samping Irena yang saat ini menggunakan alat bantu pernapasan. Raut datar pada wajah Adista mendominasi rasa tenang pada diri Adista.
"Anda siapa? Pacarnya?" Tanya dokter Ivan yang menangani Irena.
Kenzie melempar senyum kepada Dokter Ivan, "Iya, Dok. Adista pacarnya Irena. Hehe." Sahut Kenzie cengengesan.
Adista menatap dokter Ivan dengan ekspresi yang teramat datar, "Teman." Koreksi Adista datar.
"Iyain napa, sih?!" Gumam Kenzie pelan menatap Adista tajam. Adista menatap Kenzie dengan raut datar, lalu ia mengalihkan pandangannya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Dokter Ivan mengangguk paham, "Irena akan segera pulih, tapi kondisinya saat ini memang masih rentan."
"Tolong jaga dia sebentar, ya. Saya akan mengabari keluarga Irena sebentar." Sambung Dokter Ivan sembari berjalan keluar meninggalkan UKS.
Kenzie menatap Adista yang dengan sengaja berdiri dan memberi jarak dengan Irena yang tengah tak sadarkan diri. Lalu Kenzie mendorong punggung Adista agar cowok jangkung tersebut dapat lebih dekat dengan posisi Irena saat ini.
"Duduk!" Perintah Kenzie dengan berkacak pinggang.
"Gak."
"Duduk Napa, sih?! Gue doain gak bisa duduk, mampus lo!" Ancam Kenzie, tapi Adista masih pada posisinya semula. Kenzie yang terlihat semakin gemas dengan Adista, ia pun mendorong Adista untuk duduk pada kursi dekat Irena.Adista menghela napas kasar, ia duduk pada kursi yang berada di samping ranjang Irena karena terpaksa.
Mata Irena tertutup, mulut beserta hidungnya tertutup oleh alat bantu pernapasan.
Adista diam memandang wajah Irena yang nampak tenang.
Kedua alis Adista mengerut, ia menajamkan pandangannya sembari melihat Irena yang menggelengkan kepalanya dengan kedua mata yang masih tertutup. Mimik wajah Irena seolah sedang mendapati mimpi yang sangat menakutkan. Tangannya bergerak mencengkeram seprai pada kasur yang ia gunakan sebagai alas tidur.
"Eh? Lo kenapa, Ren?!" Teriak Kenzie panik. Kenzie mengacak-acak rambutnya karena bingung ingin melakukan apa.
"Dis, panggil Dokter Ivan! Buruan!" Teriak Kenzie dengan panik.
Dengan gerakan secepat kilat, Adista bangkit dari duduknya, ia berniat untuk mencari keberadaan dokter Ivan agar Irena dapat penanganan dari Dokter secara intensif.
Sedetik kemudian, telapak tangannya serasa tertarik oleh genggaman tangan dengan suhu yang dingin. Ia membalikan badannya dan kembali untuk melihat apakah ia sedang mengkhayal atau memang benar ada yang menggenggam tangannya.
Saat melihat telapak tangan kanannya tergenggam erat oleh Irena.
Adista mencoba untuk menarik kembali tangannya agar Irena dapat melepaskan genggamannya.
Melihat Irena yang tiba-tiba tenang, Kenzie pun tersenyum samar, "Oh, gue paham." Gumam Kenzie pelan, suaranya nyaris tak terdengar sedikitpun."Nggak papa kali, orangnya juga nggak bakalan ngeliat." Celetuk Kenzie.
"Sekali-kali buat dia seneng bisa, kan? Toh juga dia lagi nggak sadarkan diri, lo nggak akan malu karena ketahuan nyenengin dia."
Adista mencoba untuk mencerna ucapan Kenzie. Akhirnya, ia pun mengalah dan membiarkan telapak tangannya tergenggam erat oleh Irena yang sedang tidak sadar.
Adista membuang napasnya kasar, lalu ia kembali duduk seperti posisi sebelumnya. Ia meletakkan telapak tangan kanannya diatasi kasur dengan posisi tergenggam erat oleh Irena.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. My Ice King
Fiksi Remaja"Dalam hubungan itu nggak ada pemaksaan, kalo emang nggak suka, tolak aja terus." -Adista Zabimanyu. "Susah ya, ngomong sama pangeran es. Padahal, udah dikasih tau setiap detik kalo gue itu jatuh cinta sama dia. Tapi, dia selalu nolak ke gue, terus...