02.

3.3K 447 26
                                    

Choi Jaemin, bocah delapan tahun bermata bulat dan berpipi cembung itu baru saja selesai mengikat dasi pada kerah kemejanya. Sepasang kaus kaki putih melekat pada kedua kakinya. Usai memastikan rambutnya sudah rapi melalui cermin bulat yang digantung di sisi lemari Jaemin bergegas mencari sang ayah.

Hidup hanya berdua, Jaemin sudah terbiasa mandiri. Membersihkan rumah dan mencuci piringnya sendiri. Sedangkan sang ayah akan bekerja siang dan malam.

Mata bulat Jaemin menangkap sosok sang ayah masih terlelap di sofa. Kedua matanya terpejam dan suara nafasnya teratur. Jika saja sekolahnya dekat mungkin Jaemin tidak akan mengganggu waktu istirahat sang ayah. Tapi sang ayah terus saja ingin dirinya lulus dari Neo ES. Sekolah yang sangat mahal dan juga sekolah dasar terbaik di negeri ini. Sebenarnya Jaemin ingin sekali sekolah di tempat yang biasa, untuk sedikit meringankan ayahnya. Setiap Jaemin mengutarakan keinginannya untuk pindah, sang ayah akan selalu marah. Hingga kini Jaemin memilih pasrah sembari mencari jalan untuk mendapat beasiswa.

"Ayah bangun"

"Oh maaf ayah ketiduran, kau sudah siap ?"

Anggukan menjadi jawaban Jaemin, mendahului sang ayah Jaemin duduk di kursi dan mulai mengambil sarapannya. Sang ayah muncul tak lama kemudian dengan wajah lebih segar lalu keduanya memulai sarapannya dengan tenang.

Jaemin sudah menyelesaikan cuci piringnya saat melihat ayahnya tengah menghitung uang.
"Nah Jaemin ini uang sakumu."

Melihat beberapa lembar uang disodorkan sang ayah, Jaemin menerimanya dengan senang hati. Hampir saja ia memasukkan ke saku, tapi sang ayah sudah mengeluarkan setoples bening bertutup merah sambil berkata,"waktunya menabung Jaemin~~"

Dengan ragu Jaemin ingin mengamankan sedikit hartanya tapi tangan sang ayah sudah menjangkau lengan pendeknya, lalu selembar pecahan puluhan sudah raib dari tangannya dan berpindah ke setoples bening itu. Bersamaan dengan milik sang ayah.

Jaemin menghela nafas sambil memandangi toples tempat dirinya dan sang ayah mengumpulkan uang. Terlihat menyedihkan karena tidak banyak, belum lagi uang itu juga nantinya akan digunakan untuk membayar listrik dan membeli kebutuhan lainnya.
"Ayah.. kenapa kita tidak kaya ?"tanya Jaemin memandang lekat sang ayah yang justru kini mengulas senyum lebarnya.

Suara sang ayah terayun lembut penuh kebijaksaan khas.
"Siapa yang bilang kita tidak kaya ? Kau tau Jaemin, kaya itu bukanlah tentang seberapa besar/banyak apa yang kita miliki, melainkan tentang seberapa besar kita mau memberi. Dan jika kau lebih banyak memberi maka kau akan lebih bahagia. "

Jaemin hanya menghela nafas, tak pernah menang mendebat sang ayah. Ia hanya menyambut genggaman tangan sang ayah dengan penuh pikiran.

Dirinya tidak bahagia.

Tak pernah punya mainan secanggih temanㅡtemannya.
Tak pernah punya baju yang bagus dan trendi.
Tak pernah punya sepatu lebih dari satu.
Tak pernah punya ransel baru sebelum yang lama benarㅡbenar rusak.
Tak pernah punyaㅡ

"Nah sudah sampai, dimana ruang pertemuan orangtua ?"

Jaemin memandang sekeliling tidak sadar kapan dirinya naik bus lalu turun tepat di depan sekolah dengan gedung dua lantai berarsitektur eropa. Sekolah mengusung strategi keamanan dan kenyamanan untuk siswa setingkat sekolah dasar, gedung yang dibuat tidak terlalu tinggi, semuanya di desain secara apik dan tepat untuk siswa sekolah dasar. Gedung itu memiliki warna cat dominasi hijau.

"Sebelah sana yah."tunjuk Jaemin ke arah gedung sebelah selatan yang memang di peruntukkan untuk acara-acara khusus komite.

Usapan lembut Jaemin terima di dahinya sebelum sang ayah berlalu.

RichTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang