13.

1.8K 301 34
                                    

Malam itu Jaemin mengendap-ngendap, ia berjingkat-jingkat hendak keluar dari kamar. Lampu yang menyala hanya dari ruang tamu, dengan mata yang dilebarkan Jaemin berusaha tidak membuat suara saat membuka pintu dan menutupnya sangat pelan. Bayangan Jaemin turut bergerak saat anak lelaki itu melangkah. Nyaris saja terinjak, Jaemin terkejut saat mendapati sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk ada di depan pintu kamarnya.

Perutnya yang keroncongan mulai berontak minta diisi. Jaemin gemetar, ia ragu membuat keputusan. Melanjutkan aksi kaburnya, atau makan dan bersikap biasa-biasa saja di hadapan ayahnya besok pagi.

"Jaemin"

Terlambat.
Panggilan hangat dari suara yang sehari-hari bersamanya mengalun tak jauh dari kursi, dan Jaemin mendongak dengan perasaaan yang tidak dapat ia jabarkan. Bibirnya kelu untuk menyebut nama orangtua tunggalnya itu.

"Boleh ayah bicara ?"

Ragu, namun Jaemin tetap menganggukan kepalanya. Dengan tenang Siwon mengajaknya duduk di teras, ia juga menyiapkan secangkir kopi, dan segelas cokelat hangat untuk sang putra. Jaemin turut duduk di sebelah sang ayah usai meletakkan ranselnya.

"Habiskan dulu ya makananmu baru kemudian kita bicara"

Sambil mengunyah makanannya, Jaemin menggulirkan netranya ke angkasa. Pada bulan dan bintang-bintang yang berada di sekitarnya. Malam yang gelap tidak gulita karena kehadiran bintang-bintang itu. Bahkan dinginnya sedikit teratasi karena adanya cahaya-cahaya yang sampai ke bumi, setidaknya begitulah yang Jaemin rasakan.

"Choi Jaemin"

Begitu selesai Jaemin memusatkan perhatiannya pada sang kepala keluarga. Sang tulang punggung yang juga merangkap tulang rusuk dalam hidupnya.

"Terkadang apa yang kau lihat dan dengar tidaklah seperti yang sebenarnya terjadi,"
Siwon membuka kata dengan pandangan jenakanya pada sang putra.

"Lalu jika mata dan telinga tidak kuasa menangkap apa yang benar terjadi, dengan apa lagi manusia mengungkap kebenaran ?"

Siwon tersenyum, tangannya terangkat otomatis untuk mengusap helaian rambut sang putra. Tekstur halus rambut Jaemin terasa di indera perabanya, tidak berubah semenjak Jaemin masih balita. Anak laki-laki satu-satunya yang ia harapkan akan cerah di masa depan, Jaemin cerdas dan membutuhkan bimbingannya. Untuk beberapa firasat, Siwon merasa Jaemin akan menjadi orang besar dan terkemuka pada masanya.

"Mata dan telinga adalah ciptaan Tuhan, Jaemin dan untuk tiap hal di dunia ini jangan lupakan kalau Tuhan juga menciptakan akal dan pikiran untuk manusia, "sambungnya.

Untuk sesaat Jaemin terlihat mencerna ucapannya dengan dahi berkerut dan tangan bersedekap.
"Lalu ? Apa hubungannya dengan Jisung ? Aku ingin ayah menjelaskan tentangnya."


"Kau tau dimana letaknya dari empati ?"

Jaemin melupakan satu hal, ayahnya tidak pernah menjelaskan sesuatu secara gamblang. Choi Siwon akan memberikannya potongan-potongan filosofi hidup yang butuh disederhanakan untuk diketahui maknanya.

"Empati ? empati ada dalam nurani, yang artinya setiap manusia pasti dapat merasakannya."

"Dan empati menggerakkan hati, hati menggerakkan tubuh untuk berbuat sesuatu apa saja untuk meringankan masalah ataupun cobaan orang lain,"sambung Siwon sembari tersenyum.

"Sayangnya tidak semua orang mengikuti hatinya"



Jaemin menangkap maksudnya setelah merenung,"mungkinkah, ayah berempati pada Jisung ? Kenapa ?"

"Sekarang sudah larut, besok kau harus sekolah kan ?"

Jaemin mengangguk.

"Besok pulang sekolah mau menemui Jisung ?"

Karena terlalu penasaran Jaemin akhirnya menyetujuinya. Pertanyaannya masih menjadi teka-teki yang belum terjawab sempurna, ayahnya tidak mengakui Jisung sebagai putranya. Tapi Ayahnya juga tidak mengatakan kalau Jisung bukan putranya.

Jaemin tidak mengerti mengapa sang ayah kerap kali membuatnya berfikir keras seperti ini, idenya buntu. Jika hanya mengandalkan akal dan pikiran saja mungkin yang didapatnya hanyalah asumsi. Sedangkan yang Jaemin inginkan adalah kebenarannya. Kenyataannya. Tentang Jisung itu siapa.

Bukan empati itu apa

Oh !

Benar juga.
Ayahnya mengatakan bahwa ia berempati pada seseorang bernama Jisung.

BerEmpati ya ?



Mungkin dirinyalah yang juga harus berempati lebih pada sosok yang saat ini mendekapnya di balik selimut yang sama. Satu-satunya sosok yang ia miliki di dunia ini, Jaemin melirik kedua kelopak mata yang menyembunyikan binar kebersahajaan seorang Choi Siwon. Seorang yang hanya berprofesi sebagai badut dan pengamen tapi laki-laki inilah ayahnya.




"Maafkan aku ya ayah, aku menyayangimu.."Katanya dalam hati.

...

A/N

Aku tau pemikiran Jaemin terlalu dewasa di cerita ini, untuk anak usia delapan yang menginjak sembilan karakternya terhitung cerdas. Story ini panjang banget sampe Jaemin dewasa, kayaknya ngebosenin ya ?

Walaupun gitu aku ttp akan selesain project kesayanganku ini

Ras

RichTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang