06.

2.2K 368 8
                                    

Meja belajar dengan tiga kaki penyangga itu masih berdiri kaku. Di atasnya tergeletak sebaris buku tentang angka, hafalan, dan tugas bahasa. Sedangkan seorang anak lelaki tengah bersedekap di kursi menghadap pada meja. Wajahnya kusut dan moodnya buruk, seburuk-buruknya. Anak lelaki itu menyerah duduk dan melemparkan tubuhnya ke arah kasur. Kedua kakinya menggantung, tidak sampai menyentuh lantai.

Choi Jaemin, anak lelaki itu sibuk mengingat kapan kali pertamanya mulai membenci satu-satunya marga Hwang di kelasnya.

Hwang Hyunjin.

Awalnya keduanya berteman biasa, sebelum Renjun datang sebagai murid pindahan di pertengahan semester kelas dua dulu, dan tiba-tiba saja Hyunjin seperti menjauh. Tak lama setelah itu Hyunjin mengejeknya mengenai pekerjaan sang ayah.

Anak lelaki berpipi tembam itu menggeleng sambil sesekali melempar-lempar boneka kecilnya. Jaemin beranjak kembali ke meja belajar, ia ingat. Motivasi terbesarnya belajar adalah sang ayah. Bila besar nanti ia tidak ingin seperti sang ayah, saat besar nanti Jaemin ingin menjadi orang yang suksesㅡkaya dan disegani.

Dengan semangat yang serasa usai di charge ulang Jaemin menuju meja belajar dan mulai membuka bukunya.

Tiba-tiba segelas jus jeruk berada di samping buku. Jaemin mendongak, sang ayah berdiri di dekatnya.

"Tidak jadi pergi ?"

"Kau melarang ayah pergi kan."

Jaemin mengangguk sambil tersenyum tipis, tangan kasar ayahnya mencubit pipinya pelan.

"Sudah malam, tidak ingin tidur ?"

"Nanti, Jaemin harus belajar."

"Padahal ayah ingin tidur sambil memeluk putra manis ayah ini."

Jaemin terkekeh, sentuhan tangan ayahnya seringkali terasa ajaib. Seperti tameng yang seakan mampu melindunginya dari segala macam jenis duri dan luka. Ia ingat, dulu sang ayah selalu menceritakan dongeng padanya sebelum tidur dan dirinya tidak pernah absen mengomentari.

"Tapi kasurku kan kecil yah, aku juga sudah besar dan berat. Kasurku tidak cukup untuk kita berdua."

Senyum lebar tercetak di wajah sang ayah, "tunggu sebentar ya"

Jaemin memperhatikan sang ayah yang tengah menyusun kasur di lantai kemudian ia juga menarik kasur Jaemin dan menyusunnya menjadi satu.
"Sudah, ini lebih dari cukupkan ?"

Jaemin mengangguk ceria, ia menuju ke arah lampu dan mematikannya. Kemudian menyusup di bawah selimut dan memeluk sang ayah.

"Ceritakan satu dongeng yah"

Siwon terlihat berpikir sejenak, samar dalam gelap ia dapat melihat sang putra tengah tersenyum lebar dan polos.
"Kau ingin dongeng yang seperti apa ?"

"Uhm ada tidak dongeng tentang seorang ayah dan putranya ?"


"Ada, tapi berjanjilah kali ini tidak mengomentari dongeng ayah, oke ?"

"Itu karena ayah terlalu payah bercerita."

"Di sebuah desa yang permai tinggal seorang anak lelaki bernama Wang Jihan, dia menderita penyakit aneh di kulitnya hingga setiap orang menjauhinya."

"Aku tebak pasti Wang Jihan akan menjadi pahlawan desa karena suatu apa lalu dia gugur dan warga desa menyesal pernah menjauhinya, aku benar ?"

Jaemin merasa rangkulan sang ayah mengerat di bahunya.

"Kau benar tapi salah, Wang Jihan memang menjadi pahlawan tapi bukan untuk warga desa."

"Lalu ?"

"Ia menjadi pahlawan untuk ayahnya."


"Benarkah bagaimana ?"


"..."

"Ayah.."

Tidak ada jawaban apapun membuat dahi Jaemin mengerut, kedua tangannya beranjak memegang kedua pipi yang menyembunyikan rahang tegas sang ayah. Rupanya ayahnya sudah terlelap dengan senyum masih terulas di bibirnya.

Jaemin mengecup pipi kiri ayahnya,
"Aku juga akan menjadi pahlawan untuk ayah..."
Bisiknya nyaris ikut tertelan dalam gelap dan dinginnya rumah mereka yang memang tanpa penghangat.

Sementara kelopak mata Siwon bergetar hingga meluluh sebening kristal. Mendekap erat hartanya yang paling berharga.
Putranya.
Choi Jaemin.

...

RichTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang