#11 - Jangan tinggalkan aku

62.2K 2.7K 51
                                    

"Aku membencinya, sungguh. Dia membuatku menderita selama belasan tahun, dan aku sudah membangun dinding pembatas di antara kami. Akan tetapi, kenapa semua yang kubuat runtuh begitu saja ... saat dia memohon padaku untuk tetap tinggal di sisinya?"
—Zero Bennedict A.

***

Luna tidak sadarkan diri setelah permainan panjang yang dikuasai oleh Zero. Suhu tubuhnya benar-benar panas, sedangkan Zero yang menyadari hal itu malah bersikap acuh tak acuh, seolah tak peduli sama sekali.

Zero kembali ke dalam kamarnya setelah puas melakukan apa yang ia mau, dan meninggalkan Luna sendiri dalam kondisi yang tidak sadar. Ia berjalan perlahan menuju ranjang dan membaringkan diri di sana.

Kepalanya terasa pening karena seminggu belakangan ini ia terus mengkonsumsi alkohol. Zero nyaris saja terlelap di dalam tidurnya, saat suara ponsel yang bergetar membuat lelaki itu terusik.

Malas mengangkat, awalnya Zero memutuskan untuk mengabaikannya. Demi Tuhan, ini baru jam enam pagi, masih ada beberapa waktu sampai ia harus pergi ke kantor. Akan tetapi, dering yang tak kunjung berhenti membuat Zero mengerang kesal dan terpaksa bangkit dari posisi nyamannya.

Dia baru saja mau mematikan ponsel saat ia melihat nama 'Joanna' sebagai penelepon. Bingung, Zero mengernyitkan dahi dan menyandarkan kepalanya. Menimbang-nimbang untuk mengangkatnya atau tidak.

Percayalah, Zero juga masih punya hati seperti manusia lain. Oleh karena itu, dia bisa terombang-ambing di arus patah hati karena cintanya masih ada, bahkan setelah segala penderitaan yang ia alami di masa kecil.

Hanya saja, untuk Luna agak berbeda. Zero menyimpan dendam untuknya. Rasa benci yang ia tumbuhkan sejak dulu membuat Zero memperlakukan Luna secara kasar.

Meski ia sendiri sadar kalau Luna tidak pantas diperlakukan demikian.

Sejak awal Zero memang mengincar Luna untuk dijadikan miliknya, tetapi keinginannya terhalang oleh nenek Fahmi sialan, si pemilik panti asuhan itu. Dia menolak Zero mentah-mentah dan mengusirnya pergi.

Untung saja, anakya si Ibu panti sedang sakit parah dan membutuhkan biaya lebih. Jadinya Zero bisa membeli Luna karena Bu Fahmi terpaksa menjual gadis itu, demi uang.

Benar, Zero memang berbahagia di atas penderitaan yang lain. Katanya, orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti, dan sepertinya pepatah itu seratus persen akurat.

Zero benar-benar anak yang baik sampai musibah itu datang dan menghancurkan segalanya. Merebut segala kebahagiaan yang ia miliki, dan meninggalkannya sendirian dengan rasa takut.

Zero menarik napasnya dalam-dalam saat melihat benda pipih hitam miliknya masih berdering. Masalahnya dengan Joanna memang masih jauh dari kata selesai, gadis itu memperumit segalanya. Akan tetapi, untuk saat ini dia harus beralih dan menata perasaannya terlebih dahulu.

Pendinginan akan jauh lebih baik, daripada memaksakan diri untuk menghadapi segalanya sekarang. Oleh karena itu, ia mematikan ponselnya dan kembali berbaring. Tidur adalah jalan terbaik untuk melepaskan segala beban yang menimpanya, meski hanya sejenak.

***

Cahaya yang menembus celah-celah gorden Zero membuat lelaki itu menggeliat. Merasa terganggu, dia perlahan membuka mata dan bangun dari tidur singkatnya. Tidak peduli seberapa berantakan pun penampilannya, Zero tetap terlihat menawan. Dia mewarisi gen yang luar biasa.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, sebenarnya ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor. Akan tetapi, tidak akan ada orang yang berani protes meski dia tidak hadir sekalipun, oleh karena itu Zero tidak terburu-buru dan melaksanakan kegiatan rutinnya setiap pagi dengan santai.

MY ARROGANT MAN (OPEN PO!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang