Cerpen; Jangan Istiqomah Sendirian

17 1 0
                                    

Suasana pagi di Hari Rabu tampaknya matahari malu-malu untuk menyemburatkan sinarnya. Beberapa tetes embun masih menggenang di atas daun talas yang berjejer di jalan setapak. Hujan semalaman masih meninggalkan bekas aroma tanah yang sembab. Udara pagi yang terasa lebih menusuk membuat seorang Keisha Adelia mengeratkan jaketnya karena jilbab menjuntai yang dipakainya pun berkibar tertiup angin yang lumayan kencang.

Keisha atau sering disapa Shasa berjalan pelan menyusuri koridor. Langkahnya terhenti tepat di hadapan Mading sekolah. Ia membaca satu per satu coretan coretan di atas kertas warna-warni itu. Hingga matanya berhenti di salah satu pengumuman acara sekolah.

PORSENI

Shasa menerka sejenak apa yang barusan dibacanya. Ia baru tahu jika sekolah akan mengadakan acara itu lima hari lagi. Maklum saja, Shasa adalah anak yang tidak suka keramaian. Dia memilih berdiam diri di kelas. Waktu istirahat pun ia habiskan untuk Shalat Dhuha.

****

Shasa POV

Tepat saat aku berdiri di pintu kelas, tanpa sadar pandanganku tertuju pada arah yang ganjil, namun tidak ada siapapun karena kelas masih kosong. Dengan keraguan yang menyeruak hebat, aku bergeming dengan mata menelisik seluruh sudut ruangan, rapi. Aku menggosok-gosok telapak tanganku yang terasa sangat dingin.
Aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghelanya perlahan.

'Baiklah Shasa, jangan takut. Allah selalu bersamamu.'

“Bismillahirrohmanirrohim. Assalamualaikum,” ucapku.

Hening. Tapi aku yakin malaikat yang menjawab walaupun aku tidak mendengarnya.

Aku berjalan perlahan menuju tempat dudukku yang terletak di kolom dua baris ke tiga. Setelah menurunkan kursi, aku langsung melepas jaket dan memasukkannya ke dalam tas lalu mengambil novel untuk ku baca.
Terlalu asyik membaca, aku tidak begitu peduli dengan suara berisik di pojok kelas.

Sreekk

Brakk

Suara bantingan kursi yang cukup nyaring membuatku terlonjak. Aku menoleh ke belakang tempat suara itu berasal. Mataku membulat.

Tidak ada siapa-siapa, lalu yang tadi berisik siapa?

Mendadak bulu kudukku berdiri, hawa dingin semakin terasa menusuk tubuhku yang sudah tidak dilapisi jaket. Wajahku mungkin sudah memucat. Aku memutuskan keluar kelas untuk menghilangkan ketakutanku.

“Aaaaaaa..” Aku menjerit setengah hidup mendapati sosok laki-laki yang menabrakku di pintu kelas.

“Maaf maaf, kamu tidak apa-apa?,” tanya Vio, ternyata ketua kelasku.
Aku menggeleng tidak tenang.
“Tapi wajahmu pucat, Sha.” Vio tidak yakin dengan jawabanku.
“Eh.. Anu.. Aku nggak apa-apa kok, aku permisi dulu ya.” Aku langsung pergi dari hadapannya.

Naluri ku mendorong untuk berjalan ke arah kiri belakang kantin sekolah. Tempat yang menjajakan pemandangan sawah hijau dan gunung berkabut. Salah satu tempat favoritku untuk menenangkan diri selain di masjid.

****

Suara bel berbunyi tiga kali tanda istirahat pertama. Aroma kebahagiaan pun menyeruak di seisi kelas.
Kantin. Tujuan utama keluar dari kelas bagi teman-temanku. Tapi tidak denganku, aku lebih memilih ke masjid untuk melakukan Shalat Dhuha. Sekali lagi, aku tidak suka keramaian. Aku selalu membawa bekal untuk dimakan setelah melaksanakan Shalat Dzuhur di jam istirahat kedua.

“Hallo Shasa,” sapa salah satu temanku di kelas sebelah, Vina. Dia berjalan berlawanan arah denganku bersama rombongan temannya.

Aku hanya mengangguk tersenyum.

PENA HISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang