Suasana salah satu rumah di suatu perumahan elite sangat kacau. Bantingan, tangisan, tergema di ruang keluarga. Terlihat dua manusia dengan status sebagai suami istri sedang beradu mulut. Mereka saling menimpakan dan melimpahkan kesalahan tanpa ada yang ingin mengalah. Terlihat kilatan amarah di raut keduanya.
Di ruangan lain dalam rumah yang sama, dua anaknya memeluk lutut masing-masing. Kakak beradik ini diam tidak berkutik menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tua-nya. Mereka terbiasa dengan pertengkaran, namun tidak separah ini.
“Dek, dengerin kakak! Semua yang kamu lihat, yang kamu dengar jangan terlalu dipikirin oke! Semuanya akan baik-baik saja. Ayah hanya lelah bekerja. Ibu sedang sensitif. Jadi mereka bertengkar. Kamu fokus belajar saja ya. Ingat, jangan dipikirkan!” jelas Lisa terhadap adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar.
Sedangkan adiknya hanya mengangguk lugu, mengerjap dengan tetap memeluk lututnya. Lisa hanya menghela napas berat mengamati sang adik untuk memastikan adiknya itu baik-baik saja.***
Alisa Hifza, perempuan sembilan belas tahun yang saat ini terikat bekerja di salah satu perusahaan swasta. Lisa terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya karena masalah finansial dan keadaan mental ibundanya.
Keluarga Lisa sebenarnya bisa dikatakan broken home namun orangtua mereka tidak bercerai. Ayah Lisa menikah lagi dan sudah mempunyai satu anak dari istri kedua nya. Sang ayah yang merasa bertanggung jawab tidak akan menceraikan salah satu istrinya. Jadi, mau tidak mau ayah mereka bekerja keras untuk menghidupi dua keluarga walaupun hanya seorang kuli bangunan.
Sebelumya, Alisa tidak pernah mengalami kekurangan uang bahkan untuk memenuhi keinginan yang tidak terlalu penting sekalipun. Tetapi, memang setelah puncak pasti ada jurang terjal penuh kerikil dan bebatuan tajam.
Jadi, Alisa di usia belia ini harus membantu biaya kehidupan adik dan ibu kandungnya, karena uang bulanan dari ayahnya tidak seberapa.Kadang ia merasa iri dengan teman-temannya yang duduk di perguruan tinggi, mengerjakan tugas bersama, hangout bersama, dan hal indah yang pernah ia rasakan kala masih sekolah.
Sebenarnya, keadaan ekonomi juga yang membuat orangtuanya kerap bertengkar hebat. Sang ibu yang memang sudah kehilangan kepercayaan sering kali merasa tidak adil dan menganggap suaminya itu lebih mengutamakan keluarga keduanya.
“Lisa, antar ibu belanja ke pasar.” Ucap Riana, ibunya yang sibuk menggambar alis.Alisa mengernyit, “Mau beli apa, bu?”
“Belanja bulanan. Sayuran di kulkas udah pada abis.”
“Aku siap-siap dulu,” jawab Alisa sekenanya.
Mereka sampai di pasar. Alisa hanya membuntuti kemanapun Riana pergi.
“Eh.” “Eh maaf gak sengaja.”
“Alisa?”
Lisa mendongkak melihat siapa yang menabraknya spontan membulatkan mata.
“Kak Haidar?” ucapnya kaget.“Hehe gak usah kaget gitu, ini Hari Minggu. Saya juga lagi nganter ibu negara,” kekeh Haidar.
Lisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Sama,” jawabnya kikuk.“Eh yaudah aku duluan ya, ibu saya udah nungguin.” Pamit Haidar menepuk pelan pundak Lisa.
Lisa cengo. Dia mengerjap setelah dipanggil Riana untuk pulang.***
Haidar : Lis, besok berangkat shift pagi jangan lupa!
Alisa : Siap, kak.
Haidar : Oke
Read.
Alisa merona sendiri melihat isi pesan Haidar walaupun singkat, ditambah tadi tidak sengaja bertemu di Pasar. Lengkap sudah kebahagiaan Alisa hari ini.
Jadi, Haidar itu salah satu senior di tempat Alisa bekerja. Laki-laki berusia dua puluh tiga tahun itu menjabat sebagai leader di Departemennya. Mereka cukup dekat, tapi sebatas pekerjaan. Alisa juga tidak berharap lebih, karena sadar dia hanya karyawan biasa. Mustahil juga jika mereka berpacaran, karena Alisa juga tidak menganut aktivitas itu.
Jadi, Alisa hanya sebatas mengagumi Haidar karena laki-laki itu menurutnya lebih menghargai perempuan jika dibandingkan dengan senior lain yang lebih sering menggoda para junior.
![](https://img.wattpad.com/cover/168995117-288-k686084.jpg)