Cerpen; Mahabbah

25 2 0
                                    

"Fei, saya mau ngomong sesuatu," ujar Kak Gio.

Aku menoleh, "Ngomong aja kak."

"Saya sudah cerita ke bunda, beliau menyuruh agar saya memberitahumu," katanya memulai.

Aku mengangguk. "Lalu?"

"Saya bermimpi mendatangi tiga wanita, salah satunya kamu. Saya juga sudah menceritakan mimpi itu ke Guru saya di PonPes, beliau mengatakan kalau itu adalah wasilah dari Allah dan salah satu dari tiga wanita itu adalah takdir saya."

Aku membulatkan mata terkejut, tetapi tidak menyela, membiarkan Kak Gio selesai menceritakannya.

Kak Gio menghela nafas panjang. "Sebelumnya saya sudah berbicara dengan dua perempuan. Yang pertama, dia sudah dalam proses lamaran untuk lanjut ke pernikahan. Dan yang kedua, dia belum memberi jawaban pasti. Sekarang saya mendatangimu."

"Aku belum paham maksud kakak mendatangiku," ucapku yang sebenarnya sedikit mengerti mengenai maksudnya.

"Saya ingin membuat komitmen denganmu," tegasnya jelas.

Deg. Jantungku berdetak melebihi detak detik jarum jam.

"Ma-maksud kakak komitmen pernikahan?"

Kak Gio mengangguk. "Aku menyukaimu semenjak aku sakit dulu."

Aku gugup. Ingatanku tiba-tiba berputar ke beberapa waktu yang lalu. Di mana Kak Gio dioperasi dan aku yang menangis histeris seperti orang gila, hingga beberapa guru Kak Gio ikut menenangkanku.

"A-aku tidak tahu kalau kakak menyukaiku sebagai seorang wanita, bukan sebagai adik," jawabku gugup.

"Hm. Baiklah. Aku sudah mendapat jawabanmu," ujar Kak Gio

HE?
INI MAKSUDNYA GIMANA? AKU SAJA BELUM MEMBERIKAN JAWABAN.

"Lah kapan aku jawabnya kak?" kataku protes.

"Kamu hanya menganggap kita sebatas adik-kakak kan? Makanya tadi kamu berasumsi seperti itu."

"Kakak tidak bisa langsung menyimpulkan lah, aku saja belum bilang soal perasaanku dan jawaban jelasku. Jangan menyimpulkan sesuatu hanya dari satu pernyataan!" jawabku sewot.

Aku lihat Kak Gio mengulum senyum.
"Lalu jawabanmu apa?" tanyanya lagi.

"Aku belum bisa menjawab sekarang, beri aku waktu."

Kak Gio mendengus. "Ya sudah aku memberimu waktu empat hari. Gunakan baik-baik waktu itu untuk beristikharah."

Aku kembali menghadap ke depan, memperhatikan anak-anak kecil sedang bermain membentuk lingkaran, di tengahnya berdiri seorang anak kecil lagi yang bernyanyi riang. Ya, kita sekarang sedang berada di alun-alun.

"Tapi, bagaimana jika perempuan yang ke dua tadi mengiyakan komitmen dengan kakak?" tanyaku menekan rasa sesak. "Dan bagaimana jika shalat istikharahku juga menyatakan persetujuan untuk berkomitmen dengan kakak?" lanjutku.

Kak Gio bergeming beberapa saat.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Jawab Kak Gio yang malah bertanya balik.

"Aku hanya merasa dia sepertinya lebih cocok, walaupun aku tidak tahu siapa dia. Usia kakak juga sudah matang untuk menikah, sedangkan aku cuma bocah tujuh belas tahun dan masih sekolah," jawabku sendu.

"Kamu tidak mau memperjuangkanku?"

Aku mematung. Sebenarnya dari dulu aku juga mengagumi Kak Gio, dia adalah motivatorku, seorang kakak yang sudah seperti guru, dan memang sebenarnya dia memiliki banyak murid yang sudah dia anggap sebagai 'adik', aku salah satunya.

PENA HISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang