Sebagai anak dari keluarga yang baik-baik saja, mungkin kalian sulit menerka bagaimana rasanya jika orang tua kita bertengkar hebat yang berakhir dengan perceraian.
Kisah cintaku juga sangat tragis. Aku yang tidak menganut aktivitas pacaran, bukan berarti aku tidak berkecimpung perihal asmara.
Satu tahun yang lalu.
“Aku ingin berkomitmen denganmu,” Ucap Kak Zou.Kemarin.
“Maafkan aku, membuat komitmen denganmu, dan melepaskannya begitu saja,”Oh
Kehancuran menyerang dari berbagai sisi.
Seakan tidak ada celah untukku sekadar beristirahat sebentar.
***
“Semuanya, masuk dulu. Ada pengumuman dari Pak Riko,” teriak Kean, ketua kelasku.
Serentak kelas 12 IPA 3 berhamburan memasuki kelas.
“Sebentar ya, bagi yang kemarin mengikuti daftar SNMPTN terutama yang jalur Bidikmisi, harap segera lengkapi berkas-berkasnya. Bapak tunggu sampai besok di ruang BK,” ucapnya tegas.
“Pak.” Aku mengangkat tangan.
“Ya?”
“Maaf pak ralat, yang namanya Airin Diany tidak jadi ikut SNMPTN,” ucapku sedikit parau.
“Eh.” Serentak teman kelasku kaget bukan main, tetapi mereka tetap diam.
“Kenapa?” tanya Pak Riko.
“Kemarin sebenarnya saya sedikit ragu untuk lanjut kuliah. Jadi daripada setengah hati, mending saya batalkan. Maaf ya pak,” jelasku.
Pak Riko menghela napas berat.
“Baiklah, nanti akan saya hapus. Sekali lagi, untuk yang bersangkutan jangan lupa besok saya tunggu di ruang BK.” Pak Riko mengakhiri pembicaraannya sebelum keluar kelas.Aku menunduk menahan tangis.
Aku sangat ingin berkuliah.
“Maksud kamu apa membatalkannya begitu saja?” Cerocos Rina, teman dekatku.
Aku tidak menjawab.
“Airin, sebelumnya kamu sangat antusias untuk melanjutkan sekolah. Kita bahkan sudah membeli banyak buku latihan untuk masuk PTN. Kenapa kamu batalin?” tudingnya lagi.
“Kamu nggak akan ngerti,” ucapku dingin dan pergi keluar kelas.
Langkahku menuju masjid sekolah, entah akan melakukan apa, karena aku sedang tidak shalat.
Aku duduk di pojok masjid, bersandar di pilar yang menjulang tinggi.
Hiks.
Dadaku sesak bukan main.
Dan akhirnya, tangisanku luruh begitu saja tanpa tahu caranya berhenti.
“Menangislah sepuasmu sekarang. Jika sudah siap, aku mohon jangan memendamnya sendirian,” lirih Rina.
Tangisanku bertambah pecah. Hingga setengah jam berlalu.
“Maafkan aku,” ucapku parau.
“Kenapa? Bukankah kita akan berjuang bersama di sekolah baru kita nanti?”
“Aku. Tidak bisa.”
“Kamu mengecewakanku, Airin.”
“Sebenarnya ada apa?” lanjutnya.
Aku hanya diam.
“Aku tidak akan tahu, kalau kamu saja hanya berputar-putar tidak jelas. Otakku tidak sepintar kamu yang langsung paham apa yang terjadi.” Cecar Rina sedikit berteriak.
“Apa? Kamu tidak akan menjelaskan! Selalu memendam sendiri, kamu sebenarnya menganggapku apa hah?” ucapnya bergetar.
“Aku kecewa, Ar.” Rina beranjak hendak pergi.
“Keluargaku hancur,” kataku pelan.
Rina berhenti.
“Orang tua-ku. Mereka bercerai.”
“Ekonomi juga hancur.”
Aku bergeming. Bulir hangat merembes lagi membasahi jilbabku.
“Aku tidak mungkin enak-enak kuliah, sedangkan ibuku mencari uang yang tidak seberapa untuk menghidupi keluarga.” Ucapku bergetar.
Rina masih tetap diam.
“Ya. Memang benar. Tidak semuanya aku ceritakan kepadamu. Kenapa? Walaupun aku menceritakannya, semua itu akan tetap berjalan pada porosnya, tidak ada yang berubah.”
“Aku hancur, Rin. Aku hampir gila. Semuanya menikam serentak. Mimpiku, perasaanku, semuanya telah mati. Dunia, sudah sangat begitu kejam, hingga aku tidak memiliki celah untuk menikmatinya. Ya. Semua yang fana sudah mati. Sekarang, satu-satunya pengharapanku hanya akhirat.” Jelasku mengakhiri pembicaraan.
Cirebon, 29 Januari 2019
![](https://img.wattpad.com/cover/168995117-288-k686084.jpg)