4 ▪ Hal Yang Tak Biasa

236 36 4
                                    

KALEA

Aku berjalan keluar dari kantor polisi. Surat laporan beramplop coklat ramping sudah ada digenggamanku. Lihat saja, beraninya dia seperti itu padaku. Akan kuseret dirinya ke dalam masalah yang lebih besar. Akan kubuat dirinya menderita. Akan kubuat orang-orang memandangnya rendah dan sebagai orang tak berguna.

Aku mengeluarkan ponsel dan menelepon seorang wanita. Baru saja ponselku berdengung sekali, sudah terdengar suara berisik dari sebrang.

"Zeline?"

"Iya, Nona?"

"Bagaimana keadaan di sana?"

"It's okay, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang aku sedang duduk bersantai di kafe kopi, di sini sejuk sekali."

Aku mengangguk paham, "Baiklah. Ingat ya sesekali kau harus keluar."

"Siap Nona, serahkan semuanya padaku."

Saat aku memasukkan ponsel ke dalam tas, sebuah mobil mewah berwarna putih bersih berhenti di hadapanku, dan mengeluarkan bunyi klakson beberapa kali. Jendela kaca mobil turun, dan sebuah kepala pria menyembul dari sana.

"Kau jangan membuat masalah."

Aku mendengus sembari berjalan masuk ke mobil, "Kak, ayolah, dia yang salah."

Aku menutup pintu mobil dengan keras, sengaja, untuk memberitahukan pada Kak Aksen kalau aku sedang kesal.

Kak Aksen menancap gas dan mulai mengarahkan mobilnya ke arah jalan keluar halaman kantor polisi, "Kenapa bisa begini Kalea?"

Aku bersandar malas pada punggung kursi dengan cemberut, "Dia keterlaluan. Dia yang salah karena sudah menamparku."

Tiba-tiba Kak Aksen menginjak rem dadakan membuat tubuhku maju beberapa senti hingga hampir beradu dengan bagian depan mobil.

"KAKAK!" aku menatap Kak Aksen dengan wajah merah padam.

"Apa kau bilang tadi? Ten menamparmu?"

Amarahku jadi turun mendengarnya berkata begitu.

"Ten menamparmu, ya? Berani-beraninya dia memperlakukan adikku seperti itu," Kak Aksen memukul stir mobil.

"Karena itulah aku melaporkannya ke polisi."

"Kalau tidak ingat dengan rencana sudah kubunuh pria brengsek itu," gigi Kak Aksen menggertak.

"Biar hukum yang membuat keadilan. Sekarang kita pulang dan mengurusi daging anak-anak itu."

Kak Aksen kembali menjalankan mobil, "Aku tak ingin mereka semua mati dengan kelaparan."

Aku melirik Kak Aksen sinis, "Kakak mau ngapain?"

"Lihat saja nanti, buat show sedikit tak apa kan?" mulutnya tersenyum miring, memperlihatkan wajah kekejamannya.

Memang, wajahnya benar-benar berbeda ketika di luar dan dalam. Di luar dia banyak dipandang sebagai pria keren, berwibawa, dan dingin alias tak banyak basa basi dan cuek dengan sekelilingnya. Tapi lihatlah sekarang. Apa aku pun juga terlihat seperti itu?

•♤•♤•♤•♤•♤•

Kak Aksen memegang daun pintu kamar apartemen bernomor 30-D. Aku segera berdiri menghadangnya.

"Kalea?" Kak Aksen mengernyit.

"Hmm..." bola mataku ke sana ke mari, membuat Kak Aksen curiga.

Dia memegang bahuku, dan mensejajarkan wajahnya pada wajahku, "Siapa yang sudah kau bunuh?"

Dangerous Woman [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang