7 ▪ Keadilan Yang Memaksa

196 31 9
                                    

TEN

Ten, anakku
Ibu tahu selama ini Ibu banyak salah
Dan Ibu tahu, Ibu tak bisa menebus semua itu sebelum Ibu pergi
Ibu menyesal atas apa yang terjadi
Apa yang Ibu lakukan, mungkin akan membuat masalah untukmu sekarang
Tapi Ten, ketahuilah ...
Tak ada rasa sedikit pun di hati Ibu ingin membuatmu begini
Kalau Ibu tewas di tangan orang lain, biarlah ...
Mungkin ini semua balasan untuk Ibumu yang egois ini
Pesan Ibu hanya satu, jangan mencari pembunuh Ibu

Ibu sayang kamu ...
[Tanda Tangan]
Stephian Gild

Ibu ... batinku.

Surat peninggalan Ibu selalu saja menghantuiku. Ibuku mati, dia tewas karena dibunuh. Apa aku sebagai anaknya hanya diam saja? Menurut logika aku pasti dikatakan gila di mata semua orang. Mereka pikir aku tak peduli pada ibuku sendiri. Padahal aku, hanya menjalankan perintah Ibu. Aku tak ingin membuat Ibu sedih di sana karena anak lelakinya ini yang tak patuh.

Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk. Aku segera menyimpan lembaran surat itu pada laci meja rias. Aku beranjak dan menuju pintu. Saat pintu kubuka, mataku serasa beku. Tubuhku seakan kaku untuk digerakkan. Aku tidak salah lihat kan, kalau di hadapanku saat ini ada Shea berdiri dengan gaun putihnya.

"Shea?" bibirku gemetar.

Seolah kenyataan bahwa Shea sudah mati hilang dari ingatanku, aku begitu percaya bahwa yang berdiri saat ini adalah perempuan itu.

Shea tersenyum lembut, "Ten, I am here."

Aku tersenyum. Mataku tak terlepas sedikit pun dari pupilnya. Dia Shea? Dia benar-benar Shea?

"Kau, di sini?" kataku menyakinkan.

Shea mengangguk, "Iya, ini aku. Aku datang kembali padamu."

"TUAN?" Tiba-tiba Steven yang baru naik ke lantai dua berteriak dengan mata melongo.

Aku menoleh pada Steven, "Ada apa?"

Mata Steven terus terpaku pada Shea, sebelum akhirnya perempuan itu berjalan masuk ke kamarku. Aku kaget karena Shea tak pernah melakukan hal ini. Aku langsung menyusulnya masuk ke kamar, begitu juga dengan Steven. Tetapi ... yang kulihat hanyalah kehampaan. Tak ada Shea, tak ada siapa pun.

"Tuan?" Steven berhenti di ambang pintu ketika merasakan hal yang sama, keanehan.

Aku menoleh dengan kaku pada Steven, "S--Stev, apa aku sudah gila?"

Steven menghela napas tanpa merubah raut wajahnya yang khawatir, "Ada apa dengan Nyonya Blythe?"

Aku tersentak. Nyonya Blythe?

"Apa yang kau bicarakan?" Aku berbalik menghadapnya dengan memasukkan kedua tangan pada saku celana.

Kali ini, Steven mengernyit, "Bukankah tadi yang masuk ke sini itu Nyonya Blythe? Di mana dia sekarang?"

"Apa?" Otakku mulai bekerja dengan tidak baik, "Nyonya Blythe katamu? Aku tadi melihat Shea."

"Shea? Oh Tuan, jangan becanda. Aku benar-benar melihat Nyonya Blythe berbicara padamu. Tapi wajahnya tampak muram."

Dangerous Woman [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang