12 ▪ Bukan Rencana Kita, Tapi Rencananya

122 23 0
                                    

KALEA

Aku membuka mata. Seorang wanita yang tengah berdiri di depanku tersenyum. Tetapi aku tak tahu itu siapa, karena penglihatanku masih buram. Ketika aku ingin menggerakan tangan untuk mengusap mata, tiba-tiba tanganku terasa kaku. Saat itu aku menyadari bahwa kedua tanganku diikat di balik punggung. Aku mendongak, dan menatap wanita itu dengan mata yang sudah jelas.

Blythe, batinku.

Dia tersenyum ramah ke arahku dengan pakaian yang masih sama ia gunakan pada malam itu. Di belakangnya, ada dua orang pria berbadan tegap dengan jas. Kurasa itu adalah bawahannya. Yang membuatku familiar adalah, salah seorang dari bawahannya itu adalah supir Ten yang menabrak mobilku kemarin hingga kacanya pecah. Ya, mobil itu milik Kak Aksen yang lain jadi aku tak perlu adu mulut dengan penyewa mobil.

"Sudah sadar, Nona?"

"Aku rasa kau tak punya mata karena tak bisa melihat bagaimana aku sekarang," serangku.

Dia tertawa kecil, "Bagaimana kabarmu? Apa kau berhasil membunuh si lemah Blythe?"

Gigiku menggertak, "Lihat saja, cepat atau lambat, kau akan mati di tanganku."

Aku menoleh ke kananku. Kulihat Kak Aksen dengan kaki dan tangan terikat, serta mulut disumpal kain tengah pingsan di atas tumpukan jerami.

"KAK AKSEN?" teriakku.

Serentak, Blythe dan dua pria itu tertawa seolah meledekku. Aku menatap mereka tajam.

"Aku dan kakakku akan membunuh kalian!"

"Urus saja tali ditangamu itu, bagaimana mau membunuhku jika fight dengan tali saja kalah."

"Jangan-jangan, semua penderitaanku selama ini karenamu, bukan karena Ten. Keterlaluan!"

"Keterlaluan kau bilang, Nona? Bagaimana denganmu yang membunuh cucuku hanya untuk bersenang-senang?"

Aku tersentak. Wanita tua itu tahu apa yang kulakukan? Persis seperti dimimpiku kemarin.

"Kenapa? Kau kaget?" tanya supir Ten.

"Aku tahu, yang kau tidak tahu. Mengerti?" seru Blythe, "Sekarang ayo kita keluar!"

Blythe berbalik diikuti dua pria itu di belakangnya menuju pintu. Aku menatap mereka kesal dari belakang. Ternyata, supir Ten bekerja sama dengan Blythe. Tapi tak menutup kemungkinan bahwa Ten tidak ikut campur tangan. Aku beralih lagi pada Kak Aksen.

"Kak Aksen, bangun! Kak Aksen! Kita harus segera keluar dari sini. Kakak!"

Rasanya percuma berteriak, Kak Aksen tak mendengarku sama sekali. Tapi aku ini dimana. Kenapa Blythe begitu santai ketika harus meninggalkanku dengan mulut tak tertutup. Pasti tempat ini jauh dari keramaian orang. Oh, apa aku dan Kak Aksen diasingkan? Aku akan mencari benda tajam untuk melepaskan tali ini dan segera pergi dari sini.

"Kalea ..." Blythe tiba-tiba datang kembali dengan secangkir jus alpukat dalam gelas kaca di tangannya.

Aku mengernyit, "Mau apa kamu?"

Blythe tak menjawab, tetapi dua pria berbaju hitam-hitam itu menyusul masuk dan memegangi kepalaku agar tak banyak bergerak.

"Lepaskan!" Aku meronta.

Blythe maju dan menyodorkan sedotan pada jus itu pada mulutku.

"Aku tak mau!"

Supir Ten justru memegang rahangku dan membuka mulutku. Kaki dan tubuhku terus aku gerakkan. Aku tak mau diminumkan itu. Itu bisa saja racun!

Dangerous Woman [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang