Rulnia melempar sebuah bola tenis ke udara, lalu menangkapnya. Jungwoo memperhatikan setiap gerakan Rulnia dengan serius, sedangkan Shi-chan berjalan sambil membaca komik. Seperti biasa, ini adalah momen dimana mereka pulang bersama.
"Jadi itu yah, bola tenis yang membuatmu jatuh tadi pagi?" tanya Jungwoo pada Shi-chan, memastikan.
Gadis itu mengangguk kecil tanpa menoleh.
"Kok kayak bolaku ya?"
"Malah ku pikir, ini memang bolamu," timpal Rulnia.
"Semua bola tenis itu sama aja," kata Shi-chan cuek, masih serius membuka lembar komik selanjutnya.
Jungwoo mengambil bola itu dari Rulnia, lalu memperhatikannya dengan fokus. "Tapi .. bola ini pula corak yang mirip kayak punyaku. Lihat deh," Jungwoo menunjuk semua garis jelek di bola itu. "Bolaku juga punya tanda kayak begini,"
"Terlalu aneh untuk sebuah kebetulan," tambah Rulnia.
"Ya kan?" Jungwoo mengangguk setuju. "Tapi bolaku kan di ambil orang yang kemarin. Berarti——"
Suara Jungwoo berhenti karena Shichan cepat menutup komiknya dengan bunyi yang keras. "Maksudmu, dia?" kata Shichan datar.
Jungwoo angkat bahu. "Ntahlah, mungkin?"
Shichan terkekeh. Awalnya pelan, tapi lama-lama kekehannya berubah menjadi keras dan di barengi dengan tawa yang menyeramkan. "Oh, jadi dia pelakunya?" Shichan tersenyum miring. "Apa ini pembalasan dendamnya karena lemparanku kemarin? Ini kan nggak setimpal bodoh, laki-laki sialan!"
Jungwoo dan Rulnia saling pandang, lalu bergerak cepat.
"Wew, udah udah, semuanya kan udah berlalu. Anggap aja impas. Lagipula, kamu masih baik-baik aja," kata Jungwoo mencoba membujuk.
Rulnia mengangguk setuju sambil ikut memijat-mijat pundak Shichan.
"Apa maksudmu baik-baik aja? Aku tuh malu banget tau gak? Semua orang jadi tau kan, kalau celana dalamku motif beruang? Apa kata dunia nanti? Pokoknya, aku nggak boleh diam aja! Kalau ketemu, akan ku jitak jidatnya," kata Shichan, kemudian dia terkekeh nyaring dengan suara yang menyeramkan.
"Hei, bola ini mungkin milik Jungwoo, tapi belum tentu dia pelakunya kan? Kita nggak punya bukti apapun!" kata Rulnia.
"Benar benar!" Jungwoo menambahkan.
Kekehan Shichan memudar, menyadari kalau pendapat Rulnia masuk akal. Dia jadi cemberut.
Rulnia dan Jungwoo berpandangan lagi, sekarang menghela napas karena berhasil menenangkan Shichan. Kalau bocah ini ngamuk, mungkin perang ketiga akan pecah.
Tak lama, sebuah kerumunan tampak dari kejauhan. Beberapa gadis berkumpul, mengikuti seorang laki-laki yang berjalan di depan mereka. Walaupun mereka melakukannya dengan berjarak dan agak sembunyi-sembunyi, tetap saja pemandangan itu tampak mencolok. Laki-laki yang di ikuti itu, tampak tak peduli dengan tingkah mereka. Dia terus saja membaca buku dan berjalan lurus mengabaikan kenyataan itu.
Oh iya, seragam sekolah mereka semua berbeda dan bercampur, jadi itu pasti kerumunan dari sekolah lain di sekitar sini.
Kompak, Rulnia, Shi-chan dan Jungwoo menoleh pada kebisingan itu.
Sebenarnya, itu adalah pemandangan yang biasa. Ada banyak hal-hal seperti itu di jalan umum sekolahan ini. Biar begitu, tetap saja mereka selalu bisa mencuri atensi sekitarnya.
Shi-chan menghela napas panjang, kembali ke topik pembicaraan. "Yaudah deh. Ayo, aku mau cepat-cepat pulang,"
"Tumben, kamu sakit perut?" tanya Jungwoo meledek.
KAMU SEDANG MEMBACA
a Lov/e Letter [✓]
Teen Fiction"surat cinta bagai sebuah mantra. Siapa tau, mantranya bisa membuat sahabat jadi cinta. Ya kan?" Cerita ini dibuat pada tahun 2012 #1 loveletters 140723 #5 loveletters 060219