Jika kamu dan aku berpisah,
biarkanlah sebuah surat menjadi tali penghubung untuk kita.
Matahari bahkan belum terbit dengan sempurna saat Rulnia meninggalkan rumah dengan buru-buru. Walaupun dia menggunakan seragam lengkap dengan ranselnya, tapi kakinya berlari ke arah yang berlawanan dari sekolah.Menuju stasiun.
Setibanya di sana, keadaan terlihat ramai dan padat. Semua orang sedang mengejar keberangkatan kereta pertama. Tujuannya beragam, ada yang akan pergi liburan, bersenang-senang dan pulang kampung. Maklum, sebentar lagi libur panjang akan tiba.
Rulnia membelah kerumunan itu dengan paksa, memanjangkan lehernya demi mencari seseorang. Siapa lagi, kalau bukan Kim Jungwoo?
"Jungwoo!!!" Teriak Rulnia saat akhirnya menemukan lelaki itu di antara orang-orang yang sedang berdiri menunggu kereta yang akan datang sebentar lagi. Dia melambai tinggi-tinggi.
Jungwoo yang menyadari kehadirannya langsung ikut melambai. Agak kaget, nggak kepikiran kalau Rulnia akan menyusulnya ke sini.
"Jangan pergi tanpa pamit, bodoh!" kata Rulnia setelah akhirnya sampai di depan Jungwoo dengan susah payah, soalnya dia harus bertarung dengan kerumunan orang-orang.
Jungwoo terkekeh. "Aku kan udah pamitan, di sms?" kata Jungwoo tanpa rasa bersalah.
Rulnia memukul kepala Jungwoo sekali, yang langsung di sambut dengan ringisan lelaki itu.
Memang, Jungwoo udah mengabari melalui pesan, yang dia kirim jam 4 pagi. Isinya singkat, padat dan jelas.
"Kakekku memburuk, aku harus pergi hari ini di kereta pagi. Jadi, aku nggak ke sekolah untuk pamitan. Btw di sana gak ada sinyal, tapi akan telepon kalian sesekali yah. Sampe jumpa di akhir liburan yah!"
Itulah alasannya kenapa Rulnia berlari-lari sejak pagi, untuk mengantar kepergian Jungwoo.
"Nih, aku yakin kamu pasti belum sarapan," kata Rulnia sambil memberikan roti cokelat dan susu ke tangan Jungwoo.
"Kok kamu tau?"
Rulnia menghela napas.
Lihat laki-laki ini, rambutnya aja berantakan. Bahkan untuk menyisir rambut aja dia nggak sempat, apalagi sarapan kan? Tapi Jungwoo tetap terkekeh, padahal Rulnia tau, dia pasti gelisah.
Berkat itu, tangan Rulnia jadi naik membenarkan beberapa rambut Jungwoo yang berdiri.
"Jangan khawatir, kakekmu pasti baik-baik saja. Kamu jangan ikutan panik yah," kata Rulnia pelan.
Kekehan Jungwoo memudar, berganti dengan senyum kecil yang berat. Dia mengangguk.
"Jaga ibumu dengan baik, Jungwoo-ya. Dia pasti sedang gelisah sekarang,"
Jungwoo mengangguk lagi.
Hanya itu percakapan yang bisa mereka lakukan dengan leluasa, karena sirene kedatangan kereta menguasai tempat ini. Rulnia dan Jungwoo spontan siaga, berdiri di belakang jalur antrian. Masalahnya ada banyak orang yang bersiap untuk pergi dengan kesibukan mereka masing-masing, membuat mereka berdua tersingkir dari jalur depan.
Kemudian, kereta-pun datang.
Jungwoo menatap Rulnia sekali, lalu tersenyum tipis. "Aku akan segera kembali,"
"Aku tau. Hati-hati di jalan,"
"Iya. Sampaikan salamku untuk Nona-Chan. Dia pasti kesal karena sms ku,"
Rulnia tertawa kecil. "Jangan khawatir," katanya menenangkan.
Jungwoo lalu melangkah mengikuti arus rombongan yang akan naik ke dalam kereta. Mereka bisa berbaris dengan tertib, walau agak sedikit berdesakan.
"Ah! Jungwoo! JUNGWOO!! AKU LUPA SESUATU!!"
Jungwoo yang hampir terdorong masuk kereta, menoleh lagi pada teriakan Rulnia yang kini panik dengan wajah pucat. Dia melompat-lompat sambil melambai, meminta perhatian.
"NAMA DESA TEMPATMU TINGGAL NANTI DIMANA?" teriak Rulnia. Maklum, soalnya di sekitar sini jadi berisik sekali. Apalagi beberapa pemberitahuan keberangkatan kereta terus di kumandangkan berkali-kali.
"JONGBAKK NO.31!" Balas Jungwoo menjawab pertanyaan Rulnia. "KENAPA?"
"APA? YOUNGPARK 31?"
"JOUNGBAKK 31!"
Setelah menjawab itu, Jungwoo terdorong masuk bersamaan dengan pintu kereta yang tertutup. Dia mendecak kesal karena hampir jatuh dengan cara yang menyebalkan. Tapi yah, mau bagaimana lagi, semua orang tampak buru-buru.
Laki-laki itu langsung merapatkan diri di kaca pintu, melihat Rulnia yang masih berdiri di luar kereta dengan kelegaan di wajahnya. Barusan tadi Rulnia minta alamatnya, tapi untuk apa ya? Jungwoo ingin bertanya, tapi mustahil melakukan komunikasi di tempat yang nggak bisa saling berinteraksi seperti ini.
Rulnia mengucapkan 'hati-hati' dengan bahasa bibir, lalu melambai. Dia juga mengucapkan fighting sambil tersenyum lebar.
Jungwoo tersenyum, lalu ikut melambai.
Kereta-pun mulai berjalan meninggalkan stasiun. Dari yang awalnya pelan lalu berjalan semakin cepat. Wajah Rulnia menjauh dan memudar, bersamaan dengan senyum Jungwoo yang menghilang seiring dengan hilangnya wajah Rulnia dari pandangannya.
Dia menyandarkan diri, lalu menghela napas panjang. Berat sekali rasanya meninggalkan liburan kali ini, walaupun dia harus melakukannya.
Sementara itu Rulnia masih terpaku di tempatnya berdiri. Tersenyum puas dengan apa yang telah dia dapatkan hari ini. Barusan tadi, dia hampir melupakannya, tapi untunglah dia udah mendapatkan alamat kerabat Jungwoo dimana dia akan tinggal sementara waktu. Sepertinya semua ini akan berjalan lancar, apalagi setelah dia tau kalau desa itu nggak punya cukup sinyal untuk berkontak, memudahkan Rulnia untuk melancarkan rencana surat cintanya.
Terdengar wajar, tapi bermakna.
Sekali lagi, Rulnia membaca tulisan tangan kasar yang dia buat dengan buru-buru agar tidak lupa.
Yongpark 31.
Tbc.
Dear Kim Jungwoo.
Jika semua orang punya keinginan untuk berteman denganmu, mungkin hanya aku yang tidak mau.
Kim Rulnia
KAMU SEDANG MEMBACA
a Lov/e Letter [✓]
Roman pour Adolescents"surat cinta bagai sebuah mantra. Siapa tau, mantranya bisa membuat sahabat jadi cinta. Ya kan?" Cerita ini dibuat pada tahun 2012 #1 loveletters 140723 #5 loveletters 060219