Hari itu, dibawah langit yang mulai membias jingga kamu bicara tentang luka. Katamu, kau tak ingin mengakhiri semua. Katamu, aku masih menjadi yang petama. Katamu, aku adalah nama yang selalu kau selipkan pada bait-bait doa. Namun, sore itu semuanya tiba-tiba sirna. Impian yang sempat kita bagi bersama seolah runtuh seketika. Keputusanmu benar-benar tak dapat diterima oleh logika.Mengapa pergi selalu menyakitkan. Aku bahkan tak tau apakah bisa menjalani hari tanpa hadirmu. Jalanan yang kita lewati terlalu liar untuk ku jelajahi sendiri. Mau tidak mau, aku harus menjalani hidup baruku tanpamu.
Sempat ada ingin menyebut kau yang terakhir. Menjadi laki-laki yang kucintai tanpa pernah usai. Menjadi cinta yang tak pernah ada akhir sampai kita berpisah dunia.
Kau pernah menjadi fajar yang selalu kutunggu pada malam hari. Pernah pula menjadi senja yang kutunggu pada lelah saat jarak memisah. Segala yang terjadi tak akan menjadi sia. Terimakasih telah bersedia menerima. Kuharap, hanya hari ini kita berpisah rasa. Kuharap semua akan segera membaik.
Nyatanya meluluhkan hatimu saja tak cukup untuk kita. Aku lupa, kau memiliki orang tua yang harus menerima aku juga.
Kita adalah rasa yang memiliki harapan sama. Katamu, kau akan berusaha meyakinkan hati mereka. Katamu aku cukup berdoa saja. Maaf kali ini aku tak dapat memenuhi keinginanmu. Bukankah cinta adalah dua rasa yang berjuang bersama. Ini adalah untuk kita berdua. Bagaimana bisa kubiarkan kau melangkah pergi sendiri. Aku percaya, akan ada hal baik jika kita selalu berfikiran baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menghapus Luka
RomanceLuka itu wajar. Yang tidak wajar adalah terlalu hanyut dalam luka yang kau rasa. Mari sama-sama berusaha menghapusnya.