15

8K 285 9
                                    

Hari semakin sore, Wanita berhijab hitam itu terlelap di dada Eru cukup lama, di sisinya ia terlihat sangat nyeyak. Entah sudah berapa lama ia sulit terlelap lepas. Membayangkan ucapannya selama dua tahun hati Eru tak tenang. Geram memikirkan lelaki yang harusnya bertanggung jawab padanya namun justru banyak membawa beban untuknya.

“Bagaimana bisa ketaatanmu begitu besar pada lelaki yang banyak membawa penderitaan, bagaimana bisa sebuah ikatan membuatmu tunduk pada lelaki yang bahkan tak kau cinta, bagaimana bisa wanita secantikmu tak berpaling melihat gerlap dunia. Di luar bahkan lebih indah dari yang kau duga, bagaimana bisa kau memilih untuk menyepi dan menunggu pada sebuah ketidakpastian. Bagaimana bisa …?”

Dering telepon terdengar, Eru biarkan agar wanita di sisinya tak terganggu. Semalaman mungkin ia lelah, menunggu kabar darinya yang tak kunjung datang. Atau mungkin resah akan sebuah keputusan yang akan ia ambil setelah rahasia besar terungkap. Eru menarik napas panjang, merapikan anak rambut Sayyidah yang tak sengaja keluar tertiup angin di dahinya. Pipinya merona saat dingin, membuat wajahnya terlihat semakin cantik. Perlahan bulu mata lentik itu bergerak dan terbuka.

“Hmm … maaf, sudah berapa lama aku?” ucapnya seraya mengusap kasar sepasang matanya yang berkabut.

Eru tersenyum, kedua tangan merengkuh pipi Sayyidah yang terasa dingin. “Sayyidah … hal yang paling kusukai dari dirimu adalah saat kau terlelap.”

“Kita pulang …,” ucap Eru seraya mengecup kedua tanganya. Menggamit jemarinya yang lentik dan menggandeng, jangan harap ia lepaskan.

“Tunggu!” sergah Sayyidah. Menghentikan langkah hingga membuat tubuh Eru tertahan.

Sepasang mata menunggu lama mulut itu terbuka. Sayyidah diam, menunduk, ada yang ingin ia sampaikan namun terlihat berat.

“Terima kasih!”

Lelaki bemata sipit itu mejawab dengan anggukkan kepala pelan lalu kembali menarik lengannya.

Perjalanan menuju arah pulang terhenti, longsor di sekitar perbukitan memaksa mereka untuk menghentikan perjalanan, Eru diam begitu pun wanita yang duduk di sebelahnya. Canggung karena alam memaksa mereka untuk tinggal.

“Sayyidah … apa kamu keberatan jika kita menginap?”

Jantungnya berdebar kencang, udara dingin tak mampu menghilangkan peluh karenanya. Berat Sayyidah menahan kembang kempisnya dada agar tak begitu terlihat.

“Sayyidah!”

Sayyidah  hening tak menjawab hanya memberikan anggukan kecil dan tersenyum. Mobil Eru menepi, masih di sekitar wilayah pegunungan tak jauh dari Sirah kencong, setiap mobil bisa turun kembali menuju Blitar setelah pukul 10 malam atau putar balik. Menempuh jalan dengan memutar arah adalah hal yang melelahkan, menginap salah satu pilihan yang Eru ambil.

Sebuah hotel di daerah Sirah Kencong menjadi pilihan Eru. Bangunan hotel tampak seperti villa, berbeda dengan hotel di Jakarta yang menjulang tinggi ke atas, hotel di daerah pegunungan memiliki banyak kamar yang berpencar, area yang cukup luas terdapat kolam renang, taman bermain juga sebuah lapangan basket, setiap cottage berbetuk rumah panggung yang terbuat dari kayu, dan hampir semua jendela di kamar tersebut menghadap panorama indah hasil karya terbaik Sang pencipta, hamparan kebun teh kehijauan dan kemegahan Gunung Kelud dan langit biru yang terbentang luas dengan percikan bintang yang menghiasi malam.

“Kamar melati,” ucap salah satu petugas seraya memberikan kunci dan menunjukkan letak cottage pada Eru.

Berjalan di waktu hampir malam, syukurnya langit terlihat cerah sinar rembulan seperti berlomba-lomba dengan gerlap cahaya bintang, mereka berserakan di atas langit, membuat suasana malam terasa hangat.

Cinta Di Langit AleppoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang