Aku pernah bermimpi tentang bagaimana indahnya kehidupan tanpa kesedihan. Terlintas dalam pikiran jika hidup hanyalah sesuatu formalitas yang hanya sekedar dijalankan saja. Tapi aku salah, hidup tidak mudah untuk aku jalani apalagi tentang kebahagiaan. Aku sangat sulit mendapatkan itu.
Banyak orang berkata jika dia menyukai sesuatu tapi setelah itu dia melakukan sesuatu yang jelas tidak menunjukkan kesukaannya tersebut. Coba aku contohkan. Seseorang berkata dia menyukai hujan, tetapi kenapa dia membuka payung saat hujan itu tiba. Seseorang bilang dia sangat menyukai angin, tetapi kenapa dia memalingkan dan menutupi wajahnya ketika angin itu berhembus. Seseorang menyukai matahari, tapi matanya terpejam setelah sinar matahari memasuki indra penglihatannya. Bukankah itu aneh? Atau aku salah mendiskripsikannya?
Aku jadi takut, apa kamu dan perasaanmu juga seperti itu?
Tittt
"Zanaaa! Zana lo udah bangun? Zana lo bisa denger gue kan? Zannn!"
Gadis yang baru saja membuka matanya itu langsung mendapati berbagai teriakan disekitarnya. Dia mengerjap pelan berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
"Som--somii?" Gumam Zana saat sahabatnya itu menangis dihadapannya sembari menggenggam erat tangannya.
"Iyaa ini gue, mana yang sakit hmm? Ahhh bentar gue panggil dokter dulu ya." Somi berniat keluar tapi Zana menghentikan Somi dengan menggenggam kembali tangan Somi.
"Engga."
"Astaga Zana, apanya yang engga? Udah biar gue aja yang panggil dokter biar lo diperiksa dulu." Jihoon mulai beranjak dari tempatnya membuat Zana tidak bisa menahannya lagi.
---
"Siapa sih jing yang nyebar gosip murahan kayak gitu! Awas aja, besok gue laporin semua anak gak waras itu!"
Zana menggapai tangan Somi lalu dia usap. Mencoba menenangkan sahabatnya itu.
"Udah gapapa."
"APANYA YANG GAPAPA? LO UDAH KAYAK ORANG SEKARAT GINI LO BILANG GAPAPA?"
"Som sstt ini rumah sakit geblek." Jihoon membungkam mulut Somi tapi gadis itu langsung menghempaskan tangannya.
"Berengsek emang mereka semua. Gue gak bakalan diem kayak lo ya Zana." Kata Somi penuh dengan emosi membuat Zana hanya bisa tersenyum kecil.
"Maaf." Gumam Zana.
"Maaf udah bikin kalian repot. Maaf udah bikin kalian khawatir. Gue emang gak berguna disini."
Zana menggigit bibir bawahnya, menahan tangisan yang ingin keluar.
Jujur, badannya sangat sakit sekali. Rasanya dia ingin menangis dan berteriak untuk melampiaskan seberapa sakit fisik dan mentalnya.
Bayang-bayang dia dipukuli sangat membekas. Sebenarnya salah dia apa. Kenapa dia selalu mendapatkan perlakuan seperti ini.
"Apa Zana gak boleh bahagia sedikit aja? Kenapa Zana selalu ngerasain sakit seperti ini?" Kata Zana terhadap kedua temannya. Karena pada Somi dan Jihoon, Zana bisa berbagi rasa sakitnya. Zana bisa mengeluh.
"Hei dengerin gue, cuman orang-orang bodoh yang udah nyakitin lo. Zan, lo adalah anugerah terindah dari Tuhan. Lo adalah orang baik yang pernah gue temui. Jadi jangan berfikiran kalau lo gak berguna atau apapun itu." Somi mengusap kepala Zana membuat Zana agak sedikit tenang.
Detik selanjutnya, suara ponsel berbunyi. Somi segera melihat kearah ponsel Zana dan terpampang nama 'Bunda' disana.
"Zan, bunda lo nelfon nih. Akhirnya setelah gue telfonin berkali-kali dan gak ada jawaban."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Perfect Husband ❌ HMH
Fanfiction[Private] Gimana rasanya kalau dijodohin sama om-om yang katanya perfect padahal perfuck?