Ivan menyibak jendela kamarnya sambil tersenyum lebar. Di belakangnya, ada Andrea yang tengah merapihkan tempat tidur anak bungsunya itu.
"Pagi yang ceraaaaah." Ivan berucap sambil memejamkan matanya menikmati udara pagi.
Andrea memandang putranya dengan aneh. Nih anak masih tidur kali, yak? Mendung gini dikata cerah.
Andrea geleng-geleng kepala. "Sana, turun! Sarapan, terus berangkat sekolah, nanti telat loh!"
Ivan mengecup pipi mamanya singkat. "Iya mamaku tersyentah."
Ada apa dengan anak itu? Mungkin efek jatuh cinta. Andrea menggedikkan bahunya acuh dan turun untuk membuatkan anak dan suaminya susu.
Iya, Rey sampe sekarang emang masih suka susu, susu coklat, gak suka kopi. Katanya, susu itu penyeimbang, bisa bikin presepsi orang tentang kopi berbeda. Orang bilang, kopi itu pahit, tapi dengan adanya susu, kopi jadi gak pahit lagi. Susu itu sesuatu yang menurut dia istimewa, karena susu bisa merubah kepahitan kopi tanpa meninggalkan cita rasanya. Ngomong opo?_-
"Emi mana, ma?" Andrea meletakkan susu coklat di depan anak dan suaminya.
"Udah berangkat duluan, katanya takut kehujanan waktu lihat cuaca mendung."
Ivan memutar bola matanya. "Cowok apaan takut kehujanan, hujan gak bikin dia demam kali, ma."
"Ya ngomong sama Emi langsung sana! Gak usah pake acara putar bola mata di depan mama kamu." Rey berujar dengan ketusnya.
Ivan tak mau uang sakunya kepotong, dia memilih buat mengalihkan pembicaraan. "Grand pa mana, ma? Om Yash juga."
"Om Yash di apartemen, kalo grand pamu, udah balik duluan, kayak gak tau dia aja." Ivan mengangguk sambil memakan rotinya.
Ivan pamit dan pergi ke rumah sebelah untuk menjemput Tsania, ia menyalimi tangan papa dan mamanya.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumsalam..." jawab Rey dan Andrea bersamaan.
Rey kemudian meminum susunya yang tinggal seteguk. "Aku berangkat dulu, yah. Jangan lupa nanti makan siangnya anterin!" Kemudian ia mengecup kening istrinya dan pergi ke kantor.
***
"Kan udah gua bilang, gua yang jemput, kita berangkat bareng."
Tsania menoleh pada cowok yang sedari tadi setia mengikutinya dari belakang. Saat ini ia sedang menuju kantin, dan Ivan dengan setianya menemaninya sambil nyerocos gak jelas.
"Kan gua juga kemarin udah bilang, gua gak mau! Gua bisa naik angkot sendiri."
"Tapi kan lu baru pindah." Ivan ngeyel sedari tadi, gak mau kalah.
Tsania memutar bola matanya. "Please, deh. Gua cuma pindah kecamatan, bukan pindah negara, gua gak buta jalan!"
Iya, memang rumah Rey dan Athaya tak jauh, hanya beberapa kilo meter saja.
"Tapi kan-"
"NJA! KANTIN BARENG YAH!" Tsania meninggalkan Ivan yang kesal karena diabaikan. Iapun menghampiri teman barunya itu.
"Woy, Nja! Lu ninggalin gua gitu aja, jahat lu emang. Udah tau gua anak baru juga!"
Orang yang di panggil meliriknya dengan kesal. "Dibilang jangan panggil gua Nja! Apaan nja,nja, Ninja? Tinja? Nama gua Senja! Senja Taufan Syahputra."
Tsania memandang Senja dengan polos. "Terus manggilnya gimana? Angin topan?"
Senja rasanya ingin mencabik-cabik gadis di sampingnya ini, untung imut.
"Pertama gua lihat lu, lu kelihatan kalem-kalem polos gitu."
Tsania tersenyum sok malu-malu dan mendorong pundak Senja dengan keras. "Ah, lu bisa aja."
Senja mengumpat, dorongan Tsania membuatnya hampir terbentur dinding koridor. "Sialan! Ternyata gua salah, lu lebih nyebelin dari orang yang paling nyebelin di dunia."
"Bangsat!" Tsania terkekeh dan mereka berjalan beriringan sambil bercanda dengan tambahan umpatan-umpatan kecil.
Di kejauhan, Ivan memandang mereka sambil mencengkram rambut Emilio dengan kesal.
"Aduh, bego! Kalo kesel, jangan lampiasin ke gua, bangsat!"
Ivan meninggalkan Emilio dengan segala umpatannya dan memilih untuk menghampiri Tsania dan Senja yang berjalan beriringan menuju kantin.
Sesampainya di kantin, ia celingukan mencari dua orang yang merusak moodnya itu. Sampai ia menemukan mereka dan menggebrak meja di hadapan mereka dengan kesal.
"Apa sih, Van?" Senja kesal, nih orang dateng tiba-tiba dan udah gebrak gebrak meja aja. Oke, ini memang sekolah punya bapaknya Ivan, tapi gak gitu juga kali.
"Lu apa-apaan sih!" Tsania mendorong bahu Ivan dengan kesal.
Ivan menoleh pada Tsania, ia meneteskan air matanya hingga membuat Tsania terkejut. Hanya setetes! Tapi sanggup meninggalkan keterkejutan pada diri Tsania.
Hingga Emilio tiba-tiba datang dan merangkul bahu saudara kembarnya sembari berkata pada Tsania. "Jangan kasar sama Ivan, gini-gini hatinya lembek." Kemudian ia membawa Ivan pergi dari kantin.
Jangan tanya kenapa Ivan bisa gitu, nurun dari siapa lagi coba kalo bukan dia. Rea gak sebut nama, karena kalian pasti udah tau, yang belom tau biar penasaran dan baca Childish Boy :v dasar licik!
"Lu ngapain pake acara nangis di depan Tsania segala, sih?! Gak malu? Lu kan mau ngejar dia, malah nunjukin kalo lu cengeng, gak takut dia ilfil?" Kini mereka tengah berada di rooftop, tempat mereka biasa bolos.
Bukannya diam, Ivan malah manggil-manggil mamanya. "MAMAAAAAA! Hiks,, huhu..."
Emilio jengah dengan tingkah saudaranya, ia memvideo call mamanya.
"Kenapa, Emi? Oh, ASTAGA NAGA AIGAGAGA! IVAN KENAPA? MAMA KESANA SEKARANG." Andrea memutuskan sambungan secara sepihak, membuat Emilio lagi-lagi memutar matanya jengah. Inilah mamanya, sang drama queen.
TBC.
GEMANAH? Gitu-gitu aja ya ceritanya? Bosen? Ya emang cerita Rea tuh ngebosenin, siapa suruh ngikutin Savage Twins sampe sini?😂
KAMU SEDANG MEMBACA
IVAN [Completed]
HumorSquel 'Childish Boy' So, yang belum baca 'Childish Boy' ya silahkan dibaca dulu... Monggo... Ini Savage Twins seri 1, oke? *** Ivan Suhanda dan Emilio suhanda adalah saudara kembar dengan sifat yang sama-sama jahil membuat orang tua mereka sering ke...