18

3.3K 177 27
                                    

Andrea berdiri di depan pintu kamar miliknya dan suaminya, sedangkan di bawah sana Ivan sedang menatap mamanya dengan was-was. Apa mamanya akan mengurungkan niatnya untuk menemui papanya? Pasalnya Andrea sudah berdiri lebih dari lima menit tanpa melakukan apapun kecuali menatap pintu di hadapannya. Ivan menggenggam tangan Tsania yang ada di sampingnya. Tsania tak menolak, malahan ia membalas genggaman tangan itu, mencoba menguatkan Ivan yang nampak sangat buruk.

Perlahan Andrea membuka pintu di depannya yang ternyata tak dikunci. Rey tak pernah mengunci pintu itu, untuk apa? Toh dia tidak memiliki keinginan untuk keluar.

Di atas ranjang, Andrea melihat seorang pria paruh baya yang masih nampak gagah tengah mengusap sebuah bingkai foto. Hati Andrea seperti teriris saat melihat betapa kacaunya suaminya. Ini bukanlah keinginannya untuk membuat Rey seperti ini, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya mencoba untuk tidak membuat hatinya sendiri kembali kecewa dengan orang yang sama. Egois memang, dan itu yang benar-benar ia butuhkan sekarang. Ia ingin egois agar ia tak perlu menemui Rey yang rapuh itu, tak perlu menghawatirkan anak-anaknya yang terluka. Ia ingin egois sekarang, tapi kenapa tidak bisa?

Ia mencoba memantapkan hatinya dan melangkah ke arah ranjang tempat suaminya berada. Tangan itu menyentuh bahu suaminya yang terlihat sangat rapuh.

Pintu kamar yang tak ditutup membuat Ivan dapat melihat apa yang ada di dalam kamar itu. Ia diam tak bersuara, seolah tengah menonton drama yang akan terjadi di hadapannya. Ia hanya berharap, semoga drama itu akan happy ending.

Tsania mengusap lengan Ivan. Mereka bertatapan, Tsania tersenyum lembut. Sorot mata itu selalu nampak seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Hanya itu yang bisa Tsania lakukan sekarang, karena semua ini bukanlah kuasanya untuk ikut campur. Hanya berada di sisi Ivan dan berharap itu bisa membantu menguatkan cowok itu.

Sedangkan di dalam sana, Rey mematung merasakan tangan lembut yang menyentuh bahunya. Ia memejamkan matanya, berharap itu bukan halusinasi belaka.

"Rey..." panggilan itu membuatnya membuka matanya dengan sangat terkejut. Apa ia tak salah dengar? Benarkah itu suara istrinya? Itu suara Andrea? Benarkah?

Tak ingin terus bertanya-tanya, ia memutuskan untuk menoleh ke belakang, tempat seseorang yang memegang bahunya itu berdiri.

Ia mematung, air mata bahagia mengalir deras dari matanya. Bibirnya bergetar, terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu, namun samasekali tak ada kata yang terucap. Tangannya meraih tangan yang masih memegang pundaknya itu. Ia menggenggam tangan itu dengan sangat lembut, matanya samasekali tak beralih dari wanita di depannya, seolah wanita itu akan menghilang jika ia mengalihkan pandangannya.

"Rey..." sekali lagi Andrea menyebut nama suaminya.

Hati Rey menghangat saat istrinya menyebutkan namanya dengan nada yang mengalun lembut. Ia menyadari jika istrinya tak lagi memanggilnya dengan nama kesayangan, tapi setidaknya wanitanya masih mau menyuarakan namanya dari bibir manisnya.

"I-iya, sayang?" Ivan tersenyum haru saat melihat papanya kembali tersenyum. Ia masih setia menonton semuanya di tempat yang sama pula.

"Van, ke bawah yuk. Biarin mereka melepas rindu." Tsania membujuk Ivan. Ivan mengangguk, merekapun turun ke lantai dasar. Setidaknya papanya sudah bertemu mamanya, sepertinya tak ada yang perlu di khawatirkan lagi.

"Udah makan?" Andrea bertanya dengan nada yang halus.

Rey nampak tak ingin membuat istrinya khawatir. "S-sudah..." ia menjawabnya dengan menunduk.

Andrea tau suaminya berbohong, ia tersenyum lembut. "Kapan?"

Senyuman itu membuat Rey tak sanggup membohonginya, dan tak akan pernah sanggup. "D-dua hari yang lalu..."

Andrea memejamkan matanya sambil menghela nafasnya pelan, "kalo gitu, sekarang Rey makan ya?"

Rey menatap mata dengan sorot lembut itu, kemudian mengangguk pelan.

Andrea yang tengah duduk di samping Rey itu hendak berdiri untuk mengambilkan suaminya makan, namun Rey mendadak panik sehingga menarik Andrea agar tak pergi dan membuatnya berada dalam pelukan bahu lebarnya.

"J-jangan lagi, hikss,, jangan tinggalin aku sendiri l-lagi, hiks,, hiks." Pelukan itu begitu erat hingga benar-benar membuat Andrea tak bisa bergerak. Andrea mencoba melepaskan pelukan itu, namun sepertinya sia-sia. Rey semakin mengeratkan pelukannya.

"R-rey, aku susah na-fas." Ucapnya dengan terbata.

Rey melonggarkan pelukannya, namun tak melepaskannya. "Jangan pergi! Hiks, a-aku gak apa-apa kalo gak makan, hiks, tapi k-kamu jangan pergi! Hiks,, hiks."

Andrea menggelengkan kepalanya heran. Matanya berkaca-kaca saat mengetahui jalan pikiran suaminya. Bodoh sekali hingga Rey bisa berbicara seperti itu. "Kalo kamu gak makan, aku akan pergi."

Rey panik seketika. "A-aku makan, hiks. Aku makan, sayang. T-tapi jangan pergi. Hiks,,hiks."

Andrea mengangguk, ia menelfon Ivan dan memintanya untuk membawakan makanan ke kamar, kemudian ia menyuapi Rey dengan telaten.

Rey tak mengalihkan pandangannya barang sedetikpun. Ia merasa sangat senang karena istrinya kembali, tapi ia juga merasakan seperti, entahlah, ia bingung. Rasanya seperti sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia tak tau itu apa.

Setelah selesai menyuapi Rey, Andrea meletakkan piring itu di atas nakas, kemudian mengambil sisir dan menyisir rambut suaminya dengan telaten.

"Kamu jangan gini, Rey. Kamu harus rawat tubuh kamu, kamu harus sayang sama diri kamu sendiri." Uncapnya sambil menyisir rambut yang sudah sedikit beruban itu.

"Kan ada kamu..." ucapan dari mulut Rey itu membuat Andrea menghentikan gerakannya sejenak, namun ia kembali merapihkan rambut Rey.

"Tapi aku gak selamanya ada di samping kamu." Andrea meletakkan sisir yang di pegangnya ke atas nakas.

Rey menatap Andrea bingung. "K-kamu ngomong apa sih? Kamu akan selalu di samping aku, jangan pernah ngomong gitu lagi!" Jujur saja, ia takut saat mendengar Andrea berkata seperti itu. Andrea akan selalu di sampingnya. Selalu dan selamanya.

Andrea menghela nafasnya lelah. Ia menatap Rey dengan pandangan berkaca-kaca, namun ia masih mencoba tersenyum. "Aku rasa, kita udah cukup sedih-sedihannya, Rey. Aku udah maafin kamu..."

Rey tersenyum lebar, binar bahagia terpancar dari matanya, namun kata berikutnya membuat Rey tak sanggup lagi berkata-kata.

"... semuanya berakhir sampai di sini, Rey. Aku mau kita bercerai."

TBC.

AAAAAAH itu gimana hayoooo? Pusing rea tuh lama-lama sama cerita ini, mbulet, rek. Gak mari-mari, ono ae masalah. Heran deh :v

Setelah ini kalian bebas menghujat Rea deh☺

Rea sendiri juga pusing sama kehidupan mereka :v

Pingin cepet end deh, biar bisa publish ceritanya Emilio, udah di ketik soalnya;)

IVAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang