22

3.2K 150 8
                                    

Tsania mengusap peluh yang menetes dari pelipisnya. Ia baru saja menyelesaikan hukuman yang di berikan oleh guru piket karena ia terlambat datang sekolah. Ia meneguk air yang tadi dibelinya di kantin sebelum ia kembali ke kelas, kemudian datanglah Eci, teman sebangku Tsania sejak ia menginjak bangku kelas XII beberapa hari terakhir. Gak kerasa ya, udah hampir setahun Tsania kenal sama Ivan.

"Telat lu, Tsan?"

Tsania mengangguk, "kena Bu Mumun lagi gua. Bingung deh, tuh guru punya dendam kali ya sama gua?"

Bu Mumun ini namanya sebenarnya bukan itu, tapi Munawaroh. Karena ia memiliki mata lebar yang kalo melotot mirip sama Mumun (nama pocong di film lawas, cari aja di google), maka ia dijuluki seperti itu oleh murid-murid di sana. Dia memang sepertinya sangat tidak suka dengan Tsania, padahal Tsania ini bukan termasuk murid yang nakal, justru ia sangat pintar, tapi Tsania ini juga bukan murid yang sangat patuh. Ia sering membalik omongan bu Mumun yang sangat suka membual, mungkin itu yang membuat bu Mumun tak suka padanya.

"Ya makanya, kalo si Mumun lagi mengarang cerita dan berkarya, jan di bantahin, biarin sesuka hatinya. Biar dia menghayal, yang katanya ketemu Lee Min Ho-nya itu." Tsania terkekeh mendengar penuturan dari Eci.

"Ya udah, ini mana pak Rahmad? Tumben telat, dia kan on time people."

"Bukan telat, Tsan. Dia ada urusan, jadinya jamkos, tapi dikasih tugas, bikin makalah sama kelompok masing-masing. Kelompoknya bikin sendiri." Tsania tersenyum senang. Ingat, walau Tsania ini pintar, dia masih murid normal yang masih suka kalo dikasih jamkos.

"Kalo gitu ayo bikin kelompok, lu sekelompok sama gua, ya?" Eci mengangguk, mengiyakan. Kemudian mereka mulai mencari teman-teman lainnya untuk diajak sekelompok dengannya.

Setelah terkumpul, kelompok yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan itu berunding untuk menentukan di mana mereka akan mengerjakan tugas.

"Kalo di rumah gua gak bisa, adek gua mau sunatan," Ucap Ozi.

"Gua juga gak bisa, rumah gua sempit, lagian kakak gua juga pasti gak ngebolehin, dia maniak kebersihan." Eci ikut menimpali.

Tsania menoleh pada Vito, "apa?" Vito bertanya pada Tsania saat merasa Tsania menatapnya.

"Gimana sama rumah lu?"

Vito menggaruk alisnya sambil menatap ragu pada mereka. "Sebenernya bisa, sih."

"Kalo gitu di rumah Vito aja." Putus Eci.

"Tapi lu yakin? Ada bulldog di rumah gua, anjingnya galak, gua gak yakin si Ozi mau."

Ozi yang memang takut anjingpun menggeleng sambil bergidik ngeri. Dia baru ingat, Vito memiliki anjing yang sangat galak. "Gak mau! Jangan di rumah Vito, rumah lu aja, Tsan."

Tsania mengangguk. Tak ada pilihan lain, lagipula Bunda dan Ayahnya pasti senang jika kedatangan teman-teman Tsania. Dengan begitu, rumah akan terasa lebih ramai.

"Oke, besok minggu aja, jam 8 pagi." Tiga temannya yang lain mengiyakan, kemudian bel pergantian pelajaranpun berbunyi, gurupun masuk ke dalam ruang kelas Tsania dan pelajaran dimulai.


































***




































"Nanti pulang sekolah, kita jalan-jalan, yuk!" Ivan tersenyum riang sambil menggandeng tangan Tsania dan mengayunkannya.

Mereka sedang dalam perjalanan menuju parkiran sekolah. Seperti biasa, mereka akan pulang bersama.

Tsania menatap Ivan yang tersenyum padanya, "habis ini gua mau ke Rumah Sakit, Van. Senja masih sakit."

Senyum lebar di wajah Ivan perlahan menghilang. Hatinya sakit, Tsania lebih mementingkan cowok lain ketimbang dirinya. Tapi, memang siapa Ivan? Ivan bukan siapa-siapa.

Ivan tersenyum kecut, "kalo gitu, sabtu besok bisa?"

"Gua ada latihan balet," kalau kalian lupa, Tsania ini memiliki hobi menari balet.

Mata Ivan semakin berkaca-kaca, "minggu?"

Tsania menggeleng, "gua ada kerja kelompok."

Ivan mengalihkan pandangannya dari Tsania agar cewek itu tak melihat air matanya yang menetes. Ivan sedih, Tsania tak lagi memiliki banyak waktu untuk mereka berdua, walau untuk menghabiskan waktu hanya sebagai seorang teman.

"Van, maaf ya? Seminggu ini gua sibuk banget, jadi gak bisa keluar bareng lu. Sebagai gantinya, minggu depan waktu gua sepenuhnya buat lu deh." Perkataan Tsania tadi seolah mampu membuat kesedihan Ivan sedikit berkurang.

Ivan menatap Tsania dengan ragu, "bisa 'kan? Gak sibuk?"

Tsania mengangguk mantap, "bisa, Van."

Masih dengan ragu, ia mengacingkan jari kelingkingnya pada Tsania, "janji?"

Tsania terkekeh, kekanakan sekali. Iapun mengangguk mantap sambil mengaitkan jari kelingking mereka, "janji."

Ivan kembali berbinar senang, ia memeluk Tsania erat. "Makasih, Tsan..."

"Sama-sama..." Tsania tersenyum kecil dalam pelukan Ivan.

"Ivan sayang Tsania..." Tsania bersemu mendengar itu, hatinya menghangat saat melihat Ivan bahagia karena dirinya. Apa... ia mulai jatuh?

TBC.

IVAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang