1.BAD JOKES

120 10 2
                                    

Ku pandangi wajah-wajah asing yang menatap iba dari balik dinding transparan yang ku pakai.

Sekali lagi, ingin kubuka kotak kehancuran yang menelan ketidakpercayaan ku. Menyapa raga beku di dalam sana.

'Benarkah itu dia? '

Ingin sekali aku percaya ini adalah lelucon terbesar dalam hidupku.

Tapi, semua keramaian ini beserta air mata di dalamnya bukanlah hal yang patut ditertawakan sebagai guyonan.

Sembilan belas jam, sembilan belas jam lalu aku masih mendengar nada bangganya ketika aku menceritakan kekalahanku. Mengatakan padanya akan pulang dalam waktu dekat untuk merayakan ulang tahunnya yang telah lewat.

Baju-baju seragam itu,dengan raut lesu menjabat tanganku, menepuk pundakku.

Kini aku sendirian kehilangan pijakan. Nanti, perintahku pada diri sendiri, kau bisa menangis. Tunjukkan padanya kekuatanmu buatlah dia bangga dengan kendali dirimu.

Mack, yang berdiri disampingku, tak hentinya menghela napas, meyakinkan dirinya sendiri.

Seperti yang kulakukan.

Aku menulikan telinga saat suara meriam penghormatan menggelegar.

Ketika gadis bergaun hitam panjang memasuki jarak pandang, wajah manisnya yang lugu memancarkan simpati, tangannya terulur memeluk pinggangku. Aku membatu menatap pria dibelakangnya yang mengangguk peduli.

Netraku teralih, menatap barisan yang bersebrangan. Mataku tertuju pada paras wanita yang berdiri agak jauh. Mengenakan black dress dipadu celana kain ditambah topi lebar.

Wajahnya tersembul dari sudut pinggiran topi, wajah yang sama. Dengan potret yang terpampang di ruang pribadi ayah.

.
.
.

Lai terus menatap wanita itu dari balik kerumunan. Orang yang sama yang muncul beberapa kali dalam hidupnya.

'Aku tidak membencinya'.

Lai menyadari hati wanita itu terlalu rapuh untuk bersanding dengan ayahnya yang tangguh.

Perlahan gadis itu mengitari kerumunan, mendekati si wanita.

"Aku belum yakin itu dia...".Ucapnya ketika Lai sampai.
" Beberapa orang mengatakan kalau ini merupakan lelucon terburuk ". Jawab Lai setelah beberapa saat.

Jeda.

" Aku datang untuk membantumu melewati saat ini, y-yah.. Tentunya bu-"
"Aku dilatih untuk menopang kepalaku sendiri, bukan mencari tumpuan untuk bersandar". Lai berujar datar.

" Tak diragukan lagi, " wanita itu menunduk. Tak mudah baginya untuk membangun percakapan, tak peduli seberapa kental pertalian darah diantara mereka, secara esensial mereka tetaplah orang asing.

Sang wanita mencoba mengakhiri keheningan, " Mungkin lebih mudah kalau-"

"Aku tak pernah membencimu. " Lai memotongnya dengan suara rendah.
"Dulu aku ingin," lanjutnya

Sang wanita tersenyum getir, sembari menatap kerumunan didepanya ia menggeleng, "Aku tak tau harus bicara apa"

"Kau masih mencintainya? "

"Selalu"

Lai menatap figur yang merupakan cerminan dirinya sendiri. Mata kelabu sewarna besi yang sama, wajah dihiasi garis-garis usia yang tak tertutup make-up.

Tangannya bergerak sendiri, merangkul wanita itu. Seolah kerinduan masa kanak-kanak kembali hidup dalam dirinya. Tangis wanita itu pecah dalam diam, sementara Lai menggertakkan geraham sambil mengelus punggung wanita itu dengan canggung.

FALLACYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang