Tut...
Tangan Lai terkulai ke sisi tubuhnya. Sementara yang bersarung menumpu dirinya agar tidak menghantam tembok.
Dirinya masih tidak percaya menjadi orang sial menyedihkan yang harus memberi tahu Aria tentang Rye. Menjadi orang pertama yang harus menerima kenyataan kalau kawannya bukan lagi bagian dari dunia ini.
Kurang dari seminggu Lai sudah kehilangan dua orang yang berharga baginya. Lagi-lagi ditinggalkan dalam kukungan rasa bosan dan hampa.
'Ck...'
Ini dia. Lai sebisa mungkin menghindari berbagi rasa sedih dengan sisi hatinya yang 'itu'. Tempat orang-orang menemukan kerapuhan mendalam. Baginya adalah sebuah titik rawan, bagaimana manusia bisa selemah itu ketika berhadapan dengannya?. Tempat yang begitu Lai benci sekaligus 'hal' yang ia sandang selama ini.
Hati seorang wanita.
Lai mendongak menatap sumber suara gaduh yang tetiba menyedot atensinya. Seorang pria terbujur diatas brankar dikelilingi perawat, tampak sebuah alat bantu pernapasan tengah dipasang pada pria itu.
Orang yang dia kenal.
Sontak maniknya membulat, "Mack!,". Lai berdiri kala brankar itu lewat didepannya, menuju ruang operasi.
" Mack!, jangan sampai kau mati!."
Sekilas tampak dari jas Mack yang terbuka, kemejanya pun telah koyak. Darah merembes dari bagian bawah perut. Begitu banyak.
Sempat-sempatnya Mack mengacungkan jempol pada Lai sebelum menghilang dibalik pintu. Tanpa ragu-ragu, Lai mencekal seorang dokter yang mengikuti Mack ke ruang operasi.
Lai mencengkram kerah putih sang dokter. Mengintidasinya lewat tatapan.
"Pastikan dia hidup!,". Nadanya dingin dan memaksa, tapi ada ketakutan dibalik sorot tajam itu.
Sang dokter tersenyum bijak, meski tak dipungkiri dia terkejut. Oh, ayolah...menjadi dokter adalah pekerjaan yang penuh tekanan. Ia memang lebih dari sekali mendapat ancaman tersirat dari keluarga atau kerabat pasien. Tapi, diancam oleh seorang gadis (yang seperti Lai bentuknya)?—man, ini pengalaman baru buatnya. Sama dengan dokter lain, ia hanya bisa mengucapkan kalimat klise, " Saya akan melakukan yang terbaik,"—. Tidak banyak memberi harapan memang, tapi setidaknya gadis ini telah melepaskan cengkraman nya.
"Dia akan selamat," ucap seseorang.
Dokter mengangguk permisi, meninggalkan Lai bersama si pendatang baru. Seorang pria, terlihat tak lebih tua dari dirinya. Dengan rambut gelap dan mata hijau botol, tersenyum simpul.
"Kau yang membawa Mack kemari?,"
"Ya"
"Terima kasih". Sebenarnya dalam kalimat itu, tidak terdengar atau bahkan tampak seperti ucapan terima kasih. Lai hanya mengucapkannya sebagai bentuk peralihan pikiran.
Pria itu juga hanya mengangguk. Lai menatapnya lagi, kerut menandai ruang diantara alis.
" Siapa kau?,"
"Teman". Kali ini senyum yang tadinya samar-samar melebar. Lai sama sekali tak merubah sorot matanya. Jangan harap sekedar senyum dapat memberi celah agar Lai melunakkan sikapnya. No, never.
" Baiklah, ini..." tangannya mengulurkan mantel, "Milik Sir Jeffrey". Pria itu undur diri, mengatakan harapannya agar Mack segera sembuh.
" Kau si kurir itu, kan?" pada akhirnya Lai buka suara kala si pria sudah beberapa langkah memunggunginya.
Bahu lebar orang didepannya tampak bergetar, tertawa. Dia menoleh, "Matamu boleh juga, Lai".
Lai ikut tertawa garing, tanpa humor.
" Kau boleh saja pakai kontak lens kala itu, tapi aku tidak akan pernah melupakan postur orang yang pernah duel denganku,".
KAMU SEDANG MEMBACA
FALLACY
Aksi"Tidak seperti yang kau lihat, tak seperti yang kau kira pula. Karena di dunia ini, tidak ada yang termaafkan ataupun terlupakan." *** Sang ayah terbunuh dalam insiden kecelakaan kapal. Lai Clifford bertanya-tanya, apakah 'kecelakaan' ini memang dir...