12. EXPEL

26 3 0
                                    

"Jadi kau mengabari Mack serta si alien 10 menit setelah kau mendarat di bandara?,"

Jay hanya merespon dengan gumaman lirih, sebelah tangannya masih memegangi kompres demi meredakan nyeri di pipi kirinya.

Yeah, Lai benar-benar memberi sambutan yang bersemangat. Semalam, jika saja beberapa orang tidak mendatangi mereka, Jay yakin Lai tidak akan berhenti sampai membuatnya terkapar di trotoar.

Dan sekarang, tanpa diminta gadis itu datang ke apartemennya. Melakukan kegiatan favoritnya.

"Kau sudah tau dia ada disana dan tetap pergi?, bagaimana dengan Aria?" Lai masih menunduk, bersih-bersih dengan telaten.

"Dia aman. Tapi tak bisa kukatakan baik-baik saja,"

Jay melirik prihatin ke kulkas yang tengah diobrak abrik dengan tidak manusiawi. 'Membersihkan' sebagian besar camilan disana. Si pemilik hanya merotasikan manik gelapnya, ia sama sekali tak peduli apapun yang diambil Lai asal gadis itu tidak menyentuh eskrim cokelat Aria serta susu kotak berharganya.

Lai berniat menyibukkan diri dengan 'jarahannya', dengan gontai meninggalkan dapur dan menuju ruang tengah. Mengabaikan Jay yang kini tengah menahan senyum, merasa ritme kehidupannya kembali.

.
.
.

Di lain sisi...

I know they don't like me that much
Guess I don't dress how they want
I just wanna be myself
I can't be someone else

'Mereka membenciku...
Aku merasakannya'
'Mencoba bersikap baik-baik saja ternyata sama sulitnya dengan merasa sakit'
'Tidak!, aku tidak membutuhkan mereka semua. Kami sama-sama tak menganggap satu sama lain'

Tried to crawl inside their lines
Tried to live a life by these signs
I just wanna be myself
I can't be someone else

'Begitu lelah berpura-pura, tapi tak bisa kulepaskan topeng ini begitu saja'
'Aku muak menjadi sama'
'Aku...terbiasa berbeda'

Aria mengangkat sebelah tangannya guna membalas lambaian salah satu siswa berkacamata. Entahlah, Aria tak tau namanya. Yang jelas dari seminggu lalu wajah itu selalu berusaha hadir, menyusupkan diri. Seolah menjadi agendanya untuk  muncul di depan Aria.

Dan bukannya berlalu seperti biasa, —mungkin karena Aria pertama kali meresponnya— siswa itu duduk di hadapan Aria, tersenyum lebar sampai kedua matanya menghilang.

Honestly, Aria menahan agar kedua tangannya tetap mengatup, menahan rasa gemas agar tidak kelepasan menyobek mulut tengil itu sampai ke telinga. Setengah hati ia menarik sudut bibir, sebatas penghargaan karena bocah bergigi kelinci itu masih gigih mencoba mendapat perhatian nya.

Namun si mata empat malah menghindari kontak mata dengan Aria.

"T-tolong, jangan menatapku seperti itu"

"Huh?"

Aria menaikkan sebelah alis, apa yang salah dengan tatapannya?.

"Kau seolah-olah berencana mengulitiku dengan tatapan seperti itu,"

Aria mengalihkan pandangannya ke sekeliling, koridor yang sesak dipenuhi gadis berparas manis. Bak dilukiskan diatas kulit seputih porselen. Jika Aria berdiri diantara mereka, ia tak ubahnya dengan sebutir pasir di pesisir. Membaur, menyatu bersama lingkungannya. Namun, ini bukan rumahnya.

Ia berbeda. Dan perasaan itu semakin jelas ketika seluruh 'kakaknya' tak bersamanya. Aria dapat menerima dirinya begitu mudah saat dikelilingi orang-orang yang sama 'istimewa'. Bukan berarti Aria mengangkat dirinya begitu tinggi. Hanya saja, kala bersama teman-temannya ia merasa normal.

FALLACYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang